Pulang selalu menjadi
saat yang paling menyenangkan buat saya. Karena bukan saja senang bisa
mengobati kerinduan pada keluarga, juga senang karena bisa
mengkondisikan kembali jiwa saya pada suasana rumah yang penuh
kedamaian, ketenangan dan kasih sayang. Walau hanya sejenak. Kembali ke
rumah setelah berada di luar, juga membuat saya lebih perhatian
terhadap hal-hal yang dulu tidak pernah saya perhatikan. Salah satunya
adalah terhadap ukiran pada batu paras (cadas). Entah kenapa sekarang
jadi terlihat istimewa di mata saya. Padahal dulu hanya pemandangan
sehari-hari yang tidak memiliki keistimewaan apapun.
Tiba-tiba saya
terkenang wajah guru menggambar saya waktu di SMP dulu. Beliau
mengajarkan bagaimana membuat berbagai Patra (pola, pattern – dalam
Bahasa Bali)
dan stilir dalam lukisan tradisional Bali. Lebih dari 30 tahun yang
lalu. Namun saya masih ingat beberapa pelajarannya. Walaupun sebagian
lagi sudah lupa. Pola-pola itu diterapkan juga pada ukiran-ukiran batu
paras (cadas) yang digunakan untuk menyusun bangunan di rumah. Semuanya
memiliki patra-patra yang sebagian masih saya ingat namanya, namun
sebagian lagi tidak. Saya ingat bagaimana ketika masih kecil saya ikut
berjongkok mengamati Sangging (tukang ukir) bekerja, sambil bertanya
ini dan itu mengenai cara mengukir.
Diantara pola seni ukir
yang menarik itu adalah apa yang umum di Bali disebut dengan Karang.
Karang atau Kekarangan mengacu pada ukiran dengan bentuk kepala
binatang. Kebanyakan Ukiran Kebanyakan kekarangan hanya menggambarkan
bagian rahang atas ke atas dengan posisi yang lebih menonjol dan tidak
memiliki rahang bawah. Namun ada juga yang memiliki wajah lengkap
(rahang atas & rahang bawah).
Karang Guak
Sesuai dengan namanya –
Guak adalah nama burung (Gagak- dalam Bahasa Bali), maka ukiran ini
memang berbentuk kepala burung. Tepatnya paruh atas burung ke atas.
Karang Guak ini saya temukan diapplikasikan pada sudut-sudut bangunan
pada posisi yang lebih tinggi. Barangkali karena Guak adalah burung dan
bisa terbang, maka wajarlah jika menempati posisi atas. Burung Gagak
disini digambarkan memiliki paruh berbentuk segitiga yang lancip,
dilengkapi dengan 3-4 gigi-gigi tajam masing-masing di kiri dan di
kanan.
Guak dalam kekarangan
ini juga memiliki hidung dan dahi yang agak menonjol, pipi yang
membulat dan menyatu dengan telinga dan rambut yang distilir. Bola mata
yang menonjol dan kelopak mata yang berlipat serta alis mata yang indah
dan menarik, terlihat serupa dengan rata-rata pada ukiran kekarangan
yang lain. Bagian bawah dari Karang Guak ini digambarkan hanya berupa
dedaunan yang biasa disebut dengan Simbar (karena dianggap mewakili
bentuk daun pakis Simbar Menjangan). Posisinya tidak semenonjol bagian
atasnya.
Karang Tapel
Tapel, dalam bahasa Bali artinya Topeng (Mask). Pada kekarangan ini, Tapel atau topeng
merupakan point utama. Juga hanya digambarkan dari rahang atas ke
atas. Topeng ini, seperti manusia memiliki 4 gigi seri yang rata dan
sepasang gigi taring yang sedikit lebih panjang dari gigi serinya.
Tapel memiliki bibir yang tebal dan pipi yang bulat, digambarkan dengan
cara menarik garis yang melengkung dan membentuk spiral. Hidung besar
sedikit pesek, dengan mata yang belo. Tapel juga memiliki kelopak mata
yang lebar dan alis mata yang tebal. Porsi wajah bagian atas ini
memiliki posisi yang lebih menonjol dalam ukiran Bali.
Lalu bagian bawahnya,
berupa lidah yang menjulur, disertai dengan sulur dedaunan yang disebut
sebagai Pipid atau pidpid. Pipid dalam bahasa Bali berarti daun pakis
Boston. Sulur pipid ini biasanya dibuat bertingkat 3 – 4 jenjang.
Karang Asti.
Karang Asti disebut
juga dengan karang Gajah. Bentuknya berupa rahang atas dan juga rahang
bawah gajah beserta belalainya. Karang Gajah juga digambarkan memiliki
gading, pipi sempit, mata kecil dan telinga yang lebar. Jika kita
perhatikan Karang Asti/Gajah biasanya diletakkan di posisi dasar
bangunan, dengan pertimbangan bahwa Gajah itu adalah binatang yang besar
dan kuat, sehingga mampu menyangga bangunan dengan baik. Karena
posisinya yang paling bawah, maka karang Asti menjadi bagian bangunan
yang paling berlumut di musim hujan ini. Saya kesulitan mencari
beberapa Karang Asti yang lebih kering agar lebih mudah melihat pola
ukirannya, namun sayang basah semua.
Sumber dari http://nimadesriandani.wordpress.com
Sumber dari http://nimadesriandani.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar