gajah makmur arsitektur bali

Hubungi kami jika anda mau bertanya dan membangun bangunan stil bali, kontak person 087861141389 email : gajahpare@gmail.com.

gajah makmur arsitektur bali

Hubungi kami jika anda mau bertanya dan membangun bangunan stil bali, kontak person 087861141389 email : gajahpare@gmail.com.

gajah makmur arsitektur bali

Hubungi kami jika anda mau bertanya dan membangun bangunan stil bali, kontak person 087861141389 email : gajahpare@gmail.com.

gajah pare arsitektur bali

Hubungi kami jika anda mau bertanya dan membangun bangunan stil bali, kontak person 087861141389 email : gajahpare@gmail.com.

gajah pare arsitektur bali

Hubungi kami jika anda mau bertanya dan membangun bangunan stil bali, kontak person 087861141389 email : gajahpare@gmail.com.

Minggu, 23 Desember 2012

Tata Cara Bangunan menurut Fengshui ala Bali

  1. Landasan filosofis, etis. ritual
    1. Landasan filosofis.
      1. Hubungan Bhuwana Alit dengan Bhuwana Agung.
        Pembangunan perumahan adalah berlandaskan filosofis bhuwana alit bhuwana agung. Bhuwana Alit yang berasal dari Panca Maha Bhuta adalah badan manusia itu sendiri dihidupkan oleh jiwatman. Segala sesuatu dalam Bhuwana Alit ada kesamaan dengan Bhuwana Agung yang dijiwai oleh Hyang Widhi. Kemanunggalan antara Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit merupakan landasan filosofis pembangunan perumahan umat Hindu yang sekaligus juga menjadi tujuan hidup manusia di dunia ini.
      2. Unsur- unsur pembentuk.
        Unsur pembentuk membangun perumahan adalah dilandasi oleh Tri Hit a Karana dan pengider- ideran (Dewata Nawasanga). Tri Hita Karana yaitu unsur Tuhan/ jiwa adalah Parhyangan/ Pemerajan. Unsur Pawongan adalah manusianya dan Palemahan adalah unsur alam/ tanah. Sedangkan Dewata Nawasanga (Pangider- ideran) adalah sembilan kekuatan Tuhan yaitu para Dewa yang menjaga semua penjuru mata angin demi keseimbangan alam semesta ini.
    2. Landasan Etis
      1. Tata Nilai.
        Tata nilai dari bangunan adalah berlandaskan etis dengan menempatkan bangunan pemujaan ada di arah hulu dan bangunan- bangunan lainnya ditempatkan ke arah teben (hilir). Untuk lebih pastinya pengaturan tata nilai diberikanlah petunjuk yaitu Tri Angga adalah Utama Angga, Madya Angga dan Kanista Angga dan Tri Mandala yaitu Utama, Madya dan Kanista Mandala
      2. Pembinaan hubungan dengan lingkungan.
        Dalam membina hubungan baik dengan lingkungan didasari ajaran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Kaya Parisudha
    1. Landasan ritual
      Dalam mendirikan perumahan hendaknya selalu dilandaskan dengan upacara dan upakara agama yang mengandung makna mohon ijin, memastikan status tanah serta menyucikan, menjiwai, memohon perlindungan Ida Sang Hyang Widhi sehingga terjadilah keseimbangan antara kehidupan lahir dan batin.
  1. Konsepsi perwujudan
    Konsepsi perwujudan perumahan umat Hindu merupakan perwujudan landasan dan tata ruang, tata letak dan tata bangunan yang dapat dibagi dalam:
    1. Keseimbangan alam
    2. Rwa Bhineda, Hulu- teben, Purusa- Pradhana
    3. Tri Angga dan Tri Mandala.
    4. Harmonisasi dengan lingkungan.
    1. Keseimbangan Alam:
      Wujud perumahan umat Hindu menunjukkan bentuk keseimbangan antara alam Dewa, alam manusia dan alam Bhuta (lingkungan) yang diwujudkan dalam satu perumahan terdapat tempat pemujaan tempat tinggal dan pekarangan dengan penunggun karangnya yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana.
    2. Rwa Bhineda, Hulu Teben, Purusa Pradhana.
      Rwa Bhineda diwujudkan dalam bentuk hulu teben (hilir). Yang dimaksud dengan hulu adalah arah/ terbit matahari, arah gunung dan arah jalan raya (margi agung) atau kombinasi dari padanya. Perwujudan purusa pradana adalah dalam bentuk penyediaan natar. sebagai ruang yang merupakan pertemuan antara Akasa dan Pertiwi.
    3. Tri Angga dan Tri Mandala.
      Pekarangan Rumah Umat Hindu secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian (Tri Mandala) yaitu Utama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai utama (seperti tempat pemujaan). Madhyama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai madya (tempat tinggal penghuni)
      dan Kanista Mandala untuk penempatan bangunan yang
      bernilai kanista (misalnya: kandang).
      Secara vertikal masing- masing bangunan dibagi menjadi 3 bagian (Tri Angga) yaitu Utama Angga adalah atap,
      Madhyama angga adalah badan bangunan yang terdiri dari
      tiang dan dinding, serta Kanista Angga adalah batur (pondasi).
    4. Harmonisasi dengan potensi lingkungan.
      Harmonisasi dengan lingkungan diwujudkan dengan memanfaatkan potensi setempat seperti bahan bangunan dan prinsip- prinsip bangunan Hindu.
  1. Pemilihan Tanah Pekarangan.
    1. Tanah yang dipilih untuk lokasi membangun perumahan diusahakan tanah yang miring ke timur atau miring ke utara, pelemahan datar (asah), pelemahan inang, pelemahan marubu lalah(berbau pedas).
    2. Tanah yang patut dihindari sebagai tanah lokasi membangun perumahan adalah :
      1. karang karubuhan (tumbak rurung/ jalan),
      2. karang sandang lawe (pintu keluar berpapasan dengan persimpangan jalan),
      3. karang sulanyapi (karang yang dilingkari oleh lorong (jalan)
      4. karang buta kabanda (karang yang diapit lorong/ jalan),
      5. karang teledu nginyah (karang tumbak tukad),
      6. karang gerah (karang di hulu Kahyangan),
      7. karang tenget,
      8. karang buta salah wetu,
      9. karang boros wong (dua pintu masuk berdampingan sama tinggi),
      10. karang suduk angga, karang manyeleking dan yang paling buruk adalah
      11. tanah yang berwarna hitam- legam, berbau "bengualid" (busuk)
    3. Tanah- tanah yang tidak baik (ala) tersebut di atas, dapat difungsikan sebagai lokasi membangun perumahan jikalau disertai dengan upacara/ upakara agama yang ditentukan, serta dibuatkan palinggih yang dilengkapi dengan upacara/ upakara pamarisuda.
  2. Perumahan Dengan Pekarangan Sempit, bertingkat dan Rumah Susun.
    1. Pekarangan Sempit.
      Dengan sempitnya pekarangan, penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta Bumi sulit dilakukan. Untuk itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin hendaknya tercermin (tempat pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan (alam bhuta).
      Karena keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur sesuai konsep tersebut di atas dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/ Rong Tiga atau Padma, Penunggun Karang dan Natar.
    2. Rumah Bertingkat.
      Untuk rumah bertingkat bila tidak memungkinkan membangun tempat pemujaan di hulu halaman bawah boleh membuat tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas.
    3. Rumah Susun.
      Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak- tidaknya setinggi orang ditambah 12 jari. Tempat pemujaan berbentuk pelangkiran ditempatkan di bagian hulu ruangan.
  1. Dewasa Membangun Rumah.
    1. Dewasa Ngeruwak:
      Wewaran : Beteng, Soma, Buda, Wraspati, Sukra, Tulus, Dadi.
      Sasih: Kasa, Ketiga, Kapat, Kedasa.
    2. Nasarin:
      Watek: Watu.
      Wewaran: Beteng, soma, Budha, Wraspati, Sukra, was, tulus, dadi,
      Sasih: Kasa, Katiga, Kapat, Kalima. Kanem.
    3. Nguwangun
      Wewaran: Beteng, Soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
    4. Mengatapi
      Wewaran : Beteng, was, soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
      Dewasa ala : geni Rawana, Lebur awu, geni murub, dan lain- lainnya.
    5. Memakuh/ Melaspas
      Wewaran : Beteng, soma, Budha. Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
      Sasih : Kasa, Katiga, Kapat, Kadasa.
  1. Upacara Membangun Rumah.
    1. Upacara Nyapuh sawah dan tegal.
      Apabila ada tanah sawah atau tegal dipakai untuk tempat tinggal.
      Jenis upakara : paling kecil adalah tipat dampulan, sanggah cucuk, daksina l, ketupat kelanan, nasi ireng, mabe bawang jae.
      Setelah "Angrubah sawah" dilaksanakan asakap- sakap dengan upakara Sanggar Tutuan, suci asoroh genep, guling itik, sesayut pengambeyan, pengulapan, peras panyeneng, sodan penebasan, gelar sanga sega agung l, taluh 3, kelapa 3, benang + pipis.
    2. Upacara pangruwak bhuwana dan nyukat karang, nanem dasar wewangunan.
      Upakaranya ngeruwak bhuwana adalah sata/ ayam berumbun, penek sega manca warna.
      Upakara Nanem dasar: pabeakaonan, isuh- isuh, tepung tawar, lis, prayascita, tepung bang, tumpeng bang, tumpeng gede, ayam panggang tetebus, canang geti- geti.
    3. Upakara Pemelaspas.
      Upakaranya : jerimpen l dulang, tumpeng putih kuning, ikan ayam putih siungan, ikan ayam putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita, sesayut durmengala, ikan ati, ikan bawang jae, sesayut Sidhakarya, telur itik, ayam sudhamala, peras lis, uang 225 kepeng, jerimpen, daksina l, ketupat l kelan, canang 2 tanding dengan uang II kepeng.
      Oleh karena situasi dan kondisi di suatu tempat berbeda, maka upacara
    4. dan upakara tersebut di atas disesuaikan
      dengan kondisi setempat

Fengshui ala Bali

Tanah dan tata letak rumah berpengruh terhadap kehidupan penghuninya.lontar asta kosala kosali atau asta bumi bisa dijadikan acuan.Bagaimanakah bangunan arsitek bali yang bisa membuat penghuninya bisa nyaman dan bahagia.


Menurut ida Pandita dukuh Samyaga,perkebangan arsitektur bangunan Bali,tak lepas dari peran beberapa tokoh sejarah bali Aga berikut zaman Majapahit. Tokoh Kebo Iwa dan Mpu Kuturan yang hidup pada abad ke 11,atau zaman pemerintahan Raja Anak wungsu di Bali banyak mewarisi landasan pembanguna arsitektur Bali.
Danghyang Nirartha yang hidup pada zaman Raja Dalem Waturenggong setelah ekspidisi Gajah Mada ke Bali abad 14,juga ikut mewarnai khasanah arsitektur tersebut ditulis dalam lontar Asta Bhumi dan Asta kosala-kosali yang menganggap Bhagawan Wiswakarma sebagai dewa para arsitektur.
Penjelasan dikatakan oleh Ida Pandita Dukuh Samyaga.Lebih jauh dikemukakan,Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur,sebetulnya merupakan tokoh dalam cerita Mahabharata yang dimintai bantuan oleh Krisna untuk membangun kerjaan barunya.Dalam kisah tersebut,hanya Wismakarma yang bersatu sebagai dewa kahyangan yang bisa menyulap laut menjadi sebuah kerajaan untuk Krisna.Kemudian secara turun-temurun oleh umat Hindu diangap sebagai dewa arsitektur.Karenanya,tiap bangunan di bali selalu disertai dengan upacara pemujaan terhadap Bhagawan Wiswakarma.Upacara demikian di lakukan mulai dari pemilihan lokasi,membuat dasar bagunan sampai bangunan selesai.Hal ini bertujuan minta restu kepada Bhagawan Wiswakarma agar bangunan itu hidup dan memancarkan vibrasi positif bagi penghuninya.Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali,bangunan memiliki jiwa bhuana agung (alam makrokosmos)sedangkan manusia yang menepati bangunan adalah bagian dari buana alit (mikrokosmos).Antara manusia (mikrokosmos)dan bangunan yang ditempati harus harmonis,agar bisa mendapatkan keseimbangan anatara kedua alam tersebut.Karena itu,mebuat bagunan harus sesuai dengan tatacara yang ditulis dalam sastra Asta Bhumi dan Atas Kosala-kosali sebagai fengsui Hindu Bali.

Tanah

Membuat rumah yang dapt mendatangkan keberuntungan bagi penghuninya,bagi rohaniwan dari Banjar Semaga,Desa Penatih,Denpasar ini harus diawali dengan pemilihan lokasi(tanah)yang pas.Lokasi yang bagus dijadikan bagunan adalah tanah yang posisinya lebih rendah (miring)ke timur(sebelum direklamasi).Namun di luar lahan bukan milik kita,posisinya lebih tinggi.Demikian juga tanah bagian utaranya juga harus lebih tinggi.Bila tanah di pinggir jalan,usahakan posisinya tanah dipeluk jalan.Sangat baik bila ada air di arah selatan tetapi bukan dari sungai yang mengalir deras.Air harus berjalan pelan,tetapi posisi sungai juga harus memeluk tanah ,bukan sebaliknya menebas lokasi tanah.Diyakini,aliran air yang lambat membuat Dewa air sebagai pembawa kesuburan dan rejeki banyak terserap dalam deras.
Selain letak tanah,tekstur tanah juga harus dipastikan memiliki kualitas baik.Tanah berwarna kemerahan dan tidak berbau termasuk jenis tanah yang bagus untuk tempat tinggal.Untuk menguji tekstur tanah,cobalah genggam tanah tersebut.Jika setelah lepas dari genggaman tanah itu terurai lagi,berarti kualitas tanah tersebut cocok dipilih untuk lokasi perumahan.Cara lain untuk menguji tekstur tanah yang baik adalah dengan cara melubangi tanah tersebut sedalam 40 Cm persegi.Kemudian lubang itu diurug(ditimbun)lagi dengan tanah galian tadi.jika lubang penuh atau kalau bisa ada sisa oleh tanah urugan itu,berati tanah itu bagus untuk rumah.Sebaliknya jika tanah untuk menutup lubang tidak bisa memenuhi(jumlahnya kurang)berati tanah tersebut tidak bagus dan tidak cocok untuk rumah karena tergolong tanah anggker.Akan lebih baik memilih tanah yang terletak di utara jalan karena lebih mudah untuk melakukan penataan bangunan menurut konsep Asta kosala-kosali.Misalnya membuat pintu masuk rumah,letak bangunan,dan tempat suci keluarga (merajan/sanggah).Lokasi seperti ini memungkinkan untuk menangkap sinar baik untuk kesehatan.Tata letak pintu masuk yang sesuai,akan memudahkan menangkap Dewa Air mendatangkan rejeki.

Kurang Bagus

Jangan membangun rumah di bekas tempat-tempat umum seperti bekas balai banjar (balai masyarakat),bekas pura(tempat suci),tanah bekas tempat upacara ngaben massal(pengorong/peyadnyan)bekas gria(tempat tinggal pedande/pendeta)dan tanah bekas kuburan.Usahakan pula untuk tidak memilih lokasi (tanah)bersudut tiga atau lebih dari bersudut empat.Tanah di puncak ketinggian,di bawah tebing atau jalan juga kurang bagus untuk rumah karena membuat rejeki seret dan penghuninya akan sakit – sakitan.Demikian juga tanah yang terletak di pertigaan atau di perempatan jalan(simpang jalan)tidak bagus untuk tempat tinggal tetapi cocok untuk tempat usaha.Tanah jenis ini termasuk tanah angker karena merupakan tempat hunian Sang Hyang Durga Maya dan Sang Hyang Indra Balaka.

Tata Letak Bagunan

Setelah direklamasi (ditata)diusahkan bangunan yang terletak di timur,lantainya lebih tinggi sebab munurut masyarakat bali selatan umumnya,bagian timur dianggap sebagai hulu(kepala)yang disucikan.Sedangkan menurut fungsui,posisi bangunan seperti itu memberi efek positif.Sinar matahari tidak terlalu kencang,dan air tidak sampai ke bagian hulu.Bagunan yang cocok untuk ditempatkan diareal itu adalah tempat suci keluarga yg disebut merajan atau sanggah.Dapur diletakan di arah barat (baratdaya)dihitung dari tempat yang di anggap sebagai hulu (tempat suci)atau di sebelah kiri pintu masuk areal rumah,karena menurut konsep lontar Asta Bumi,tempat ini sebagai letak Dewa Api.Sumur dan lumbung tempat penyimpanan padi sedapat mungkin diletakan di sebelah timur atau utara dapur.Atau di sebelah kanan pintu gerbang masuk rumah karena melihat posisi Dewa Air.
Bagunan balai Bandung (tempat tidur)diletakan diarah utara,sedangkan balai adat atau balai gede ditempatkan disebelah timur dapur dan diselatan balai Bandung.Bangunan penunjang lainnya diletakkan di sebelah selatan balai adat.

Pintu Masuk


Selain menemukan posisinya yang tepat untuk menangkap dewa air sebagai sumber rejeki ukuran pintu masuk juga harus diatur.jika membuat pintu masuk lebih dari satu,lebar pintu masuk utama dan lainya tidak boleh sama.Termasuk tinggi lantainya juga tidak boleh sama.Lantai pintu masuk utama (dibali berbentuk gapura/angkul - angkul) harus dibuat lebih tinggi dari pintu masuk mobil menuju garase.jika dibuat sama akan memberi efek kurang menguntungkan bagi penghuninya bisa boros atau sakit-sakitan.Akan sangat bagus bila di sebelah kiri (sebelah timur jika rumah mengadap selatan)diatur jambangan air (pot air)yang disi ikan.Ini sebagai pengundang Dewa Bumi untuk memberi kesuburan seisi rumah.Tak menempatkan benda – benda runcing dan tajam yang mengarah ke pintu masuk rumah seperti penempatan meriam kuno,tiang bendera,listrik dan tiang telepon atau tataman yang berbatang tinggi seperti pohon palm,karena membuat penghuninya sakit sakitan akibat tertusuk.Got dan tempat pembungan kotoran sedapat mungkin di buat di posisi hilir dan lebih rendah dari pintu masuk.Kalau menempatkan kolam di pekarangan rumah hendaknya dibuat di atas permukaan tanah(bukan lobang).Kolam di buat di sebelah kanan pintu masuk dengan posisi memelu rumah,bukan berlawanan.Karena keberadaan kolam yang tidak sesuai akan mempengaruhi kesehatan penghuni rumah.
sumber : umahbali.blogspot.com

Sabtu, 07 April 2012

Pelinggih pada Sanggah Pamerajan Perumahan

Mengacu pada “Trimurti Tattwa” hendaknya juga membaca “Tutur Kuturan”, “Dwijendra Tattwa”, “Gong Besi” dan “Sanghyang Aji Swamandala”. Berdasarkan lontar-lontar itu maka pelinggih di Sanggah Pamerajan Perumahan adalah:
  1. Padmasari, stana pemujaan Sanghyang Siwa Raditya.
  2. Kemulan Rong Tiga, stana pemujaan Trimurti dan Roh leluhur
  3. Taksu, stana pemujaan Dewi Saraswati, shakti Brahma
  4. Sedahan Karang, stana Bhatara Kala, putra Siwa
Bila lahan terbatas, boleh diletakkan berjejer dalam satu baris, asal atap-atap pelinggih tidak dinaungi atau berada di bawah atap rumah tinggal, demi menjaga kesucian dan kesakralan pelinggih-pelinggih itu.

Kayu yang baik untuk bangunan Bali

Kayu untuk bahan bangunan di Bali dibedakan menurut kelompok kesakralan yang dikandung dalam pohon asal kayu itu.
Di Lontar Bhuwana Kosa dan Lontar Wrhaspati Tattwa dinyatakan bahwa Ida Sanghyang Widhi yang bermanifestasi sebagai Bhatara Brahma menciptakan isi bumi melalui tahapan proses sebagai berikut: Setelah air laut disurutkan melalui pembentukan es di kutub utara dan di kutub selatan, maka muncullah daratan.
Di atas daratan diciptakanlah pertama kali, pohon dan tumbuh-tumbuhan; setelah itu menyusul binatang pemahan tumbuh-tumbuhan; kemudian binatang pemakan binatang, dan terakhir, manusia.
Pohon-pohonan yang diciptakan-Nya berurutan dengan nama gelar:


  1. Pohon Prabu, misalnya: cendana (santalum album), wangkal (albizia procera), majagau (dysoxylum caulostachyum), dan nangka (artocarpus heterophyllus)
  2. Pohon Patih, misalnya: menengen (exoecaria agallocha), kutat (planchonia valida), dan jati (tectona grandis)
  3. Pohon Arya, misalnya: cempaka (michelia champaca), belalu (albizia chinensis), dan sentul (sandoricum koetjapi)
  4. Pohon Demung, misalnya: bentenu (melochia arborea), dan teep (artocarpus altilis)
  5. Pohon Tumenggung, misalnya: suren (toona sureni), dan bayur (ptrospermum javanicum)
Agar bangunan mempunyai kekuatan magic yang didasari kesucian sehingga penghuni atau pengguna bangunan mendapatkan kebahagian, ketentraman, kenyamanan, dan keselamatan, maka penggunaan kayu yang berasal dari pohon-pohon tersebut di atas diatur:
  1. Kayu Prabu, untuk bangunan-bangunan pelinggih-pelinggih di Pura dan Sanggah Pamerajan, misalnya: meru, gedong ibu, manjangan saluwang, bale pepelik, dll
  2. Kayu Patih, untuk bangunan-bangunan pendukung di Pura, seperti: bale piasan, bale pameosan, bale gong, gedong simpen, dll
  3. Kayu Arya, untuk bangunan-bangunan sakral di pekarangan rumah tinggal, misalnya: bale gede saka roras, sekepat saka sanga, dan bale petandingan
  4. Kayu Demung, untuk bangunan rumah tinggal, misalnya bale daja, bale dangin, bale dauh, dll
  5. Kayu Tumenggung, untuk bangunan kamar mandi, wc, dapur, dll
Penggunaan jenis kelas kayu yang tepat sesuai dengan tujuan penggunaan bangunan, disertai pula dengan upacara dan upakara pemelaspas yang tepat sangat disarankan.
Namun ketentuan-ketentuan di atas, khususnya untuk bangunan perumahan hanyalah sesuai bila rumah dibangun dengan style Bali yang khas. Untuk bangunan tidak menggunakan style Bali, ketentuan tentang pemilihan jenis kayu di atas tidak mengikat.

Sabtu, 31 Maret 2012

BENTUK DAUN DAN BUAH PADA MOTIF UKIR

Motif ukiran mengenal adanya stilasi. Stilasi mempunyai arti perubahan bentuk atau penyederhanaan bentuk aslinya menjadi bentuk gambar lain yang dikehendaki. Hampir sebagian besar motif ukiran tradisional telah mengalami perubahan bentuk dari objek aslinya, oleh karena itu motif ukiran tradisional dapat dikatakan motif stilasi. Stilasi pada ukiran tradisional yang sering digunakan adalah stilasi pada bentuk daun dan bentuk buah. Pada gambar di atas adalah contoh bentuk stilasi daun dan buah. Stilasi tersebut mengambil bentuk dari motif Jepara. Bentuk ukiran daun motif Jepara selalu bergerombol. Setiap ukiran daun berbentuk segi tiga dan relung (daun pokok) berpenampang prisma segitiga. Bentuk buah pada motif Jepara seperti buah anggur atau buah wuni. Bentuk daun dan buah setiap motif dapat berbeda-beda sesuai dengan kekhasan yang ada pada motif ukiran tersebut. Sedangkan gambar di atas hanyalah salah satu contoh saja, dari sekian banyak ciri khas motif ukiran yang ada.

MOTIF BALI


Motif Bali merupakan salah satu jenis motif ukiran tradisional yang berkembang di Nusantara. Motif ini seperti halnya motif tradisional yang lain, erat hubungannya dengan pemberian nama-nama kerajaan yang terdapat pada wilayah tersebut. Motif Bali adalah motif ukiran yang diduga merupakan peninggalan raja-raja atau kerajaan yang telah mengalami kemajuan kebudayaan pada jaman itu. Motif Bali ini bentuknya lemah gemulai, berirama dengan gayanya yang luwes, agung dan berwibawa, seolah-olah menggambarkan kepribadian sang raja dan masyarakatnya.
Motif Bali ini mempunyai beberapa ciri khas, yang dapat dipilah menjadi dua macam cirri khas yaitu yang bersifat umum dan yang bersifat khusus.
Ciri-ciri umum:
Motif Bali mempunyai semua bentuk ukiran daun, bunga dan buah yang berbentuk cembung dan cekung. Hal ini dapat dikatakan bahwa motif Bali adalah motif campuran yang mempunyai perpaduan bentuk antara cekung dan cembung.
Ciri-ciri khusus:
1. Angkup pada motif Bali seperti halnya pada motif lainnya, mempunyai bentuk yang berikal pada ujungnya.
2. Sunggar ini hanya terdapat pada motif Bali saja. Bentuk sunggar ini tumbuh dari ujung ikal benangan pada daun pokok.
3. Endong pada motif ini adalah daun yang tumbuh dibelakang daun pokok, seperti halnya ending yang terdapat pada motif Pejajaran dan motif Majapahit.
4. Simbar pada motif Bali seperti yang terdapat pada motif Pejajaran dan motif Majapahit dengan bentuk yang khas pula. Simbar berada di depan pangkal daun pokok mengikuti bentuk alurnya, sehingga dapat membentuk keserasian secara keseluruhan pada motif ini.
5. Daun Trubus yang tumbuh pada motif ini tumbuh pada bagian atas dari daun pokok melengkung merelung yang membentuk dengan indahnya.
6. Benangan pada motif ini bentuknya khusus atau khas. Benangannya berbentuk cembung dan miring sebagian. Benangan ini tumbuh melingkar sampai pada ujung ikal.
7. Pecahan ini seperti halnya pada motif-motif yang lain, mempunyai pecahan garis yang menjalar pada daun pokok dan pecahan cawen yang terdapat pada ukiran daun patran, sehingga dapat menambah keserasian dan indahnya bentuk ukiran.

Ukiran Kayu BALI

Seni ukir di Bali memiliki kualitas seni motif yg khusus dan berbeda dengan daerah lainnya. Pengaruh seni yg berkualitas namun guratannya lebih didominasi tumbuhan, binatang, bunga melati dan teratai serta gambaran tentang manusia atau hewan.
Bahan yang dipergunakan umumnya kayu berkualitas tinggi, seperti jati dan kayu lainnya yang berkualitas.

Sejarah, Seni Dan Budaya ukiran bali

Bali sudah didiami manusia sejak zaman purbakala. Bukti-bukti sejarah masa lampau itu antara lain berupa situs-situs megalit dalam berbagai bentuk dan ukuran yang dapat disaksikan baik di museum maupun di alam terbuka.
Peninggalan kebudayaan ukiran bali itu merupakan hasil kreasi seni pahat para nenek moyang, terdiri dari arca-arca batu berbentuk manusia, binatang, menhir, dolmen, punden berundak, kubur batu, lumpang batu dan sebagainya yang berukuran kecil sampai raksasa. Bukti-bukti peradapan pada masa 2500-1000 tahun sebelum Masehi itu tidak hanya mengesankan bagi wisatawan asing maupun domestic, tetapi juga bagi para ahli yang acapkali dating melakukan penelitian ilmiah.
Dalam terbuka, situs-situs megalit itu sebagian besar terdapat di Pulau Bali Keberadaan benda-benda megalit itu telah melahirkan berbagai legenda dan mitos di kalangan masyarakat Bali.

Filosofi Rumah Adat Bali

Rumah Bali yang sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali (bagian Weda yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan, layaknya Feng Shui dalam Budaya China)
Menurut filosofi masyarakat Bali, kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan, palemahan dan parahyangan. Untuk itu pembangunan sebuah rumah harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa disebut Tri Hita Karana. Pawongan merupakan para penghuni rumah. Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik antara penghuni rumah dan lingkungannya.
Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu dipenuhi hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna. Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan simbol-simbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Bali

Rabu, 14 Maret 2012

Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1934

Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1934, Sukra Umanis Merakih
Penanggal 1 Sasih Kedasa Çaka 1934
 
Nyepi adalah hari pergantian tahun Saka yang dirayakan setiap kurang lebih satu tahun sekali. Nyepi tepatnya  jatuh pada sehari sesudah tileming kesanga pada tanggal 1 sasih Kedasa. Pelaksanaan hari Nyepi lebih menitikberatkan pada “Catur Brata Penyepian”, yaitu:
  • Amati Geni  = tidak menyalakan api termasuk api hawa nafsu.
  • Amati Karya = tidak melakukan aktifitas kerja rutin.
  • Amati Lelunganan = tidak bepergian.
  • Amati Lelanguan = tidak bersenang-senang atau menghentikan kegiatan hiburan.


Jadi, melihat titik berat pelaksanaan Hari Nyepi tersebut, apakah tepat jika Nyepi itu disebut sebagai “Hari Raya” yang berkonotasi pada kesemarakan dan atau hari untuk bersuka-ria?
Kemudian saya mencoba mencari tahu hal ini. Mulai dari berselancar di dunia maya dengan mengunjungi situs-situs terpercaya yang mungkin membahas tentang hal ini. Namun, saya tidak mendapatkan titik cerah. Bahkan kebanyakan dari media tersebut sudah dari awal mendefinisikan Nyepi sebagai hari raya dengan menyebutkan, “Hari Raya Nyepi adalah hari…..” yang menurut saya kurang pas.
Akhirnya secara tidak sengaja saya menemukan referensi terpercaya (menurut saya) dari sebuah buku berjudul “Lima Cara Beryajna” yang ditulis oleh I Gusti Ketut Widana. Di sana disebutkan bahwa seringkali suatu istilah telah lumrah digunakan meskipun sebenarnya tidak sesuai dengan arti dan hakikatnya. Secara harfiah istilah “Hari Raya Nyepi” memang mengandung makna yang kontradiktif. Disebut “Hari Raya” berarti Nyepi itu dirayakan dengan kemeriahan, suka cita bahkan dipestakan. Sementara hakikat Nyepi itu sendiri adalah melaksanakan dengan penuh Sradha dan Bhakti “Catur Brata Penyepian”.
Sehingga inti dari hari Nyepi adalah pengendalian diri. Dengan menilik arti dan hakikatnya, maka istilah “hari raya” untuk Nyepi kurang tepat. Sedangkan untuk hari/rerainan lain seperti Galungan, Kuningan, Saraswati, dan Pagerwesi, masih bisa disebut sebagai “hari raya”, meski aspek pengendalian diri selalu tetap ada.
Terkait dengan kesalahkaprahan ini, Beliau juga menyinggung ucapan-ucapan selamat untuk Hari Nyepi yang juga “kadung pelih”. Misalnya yang sudah biasa adalah:
Selamat Hari Raya Nyepi”.
Karena konteks “hari raya” tidak tepat dengan hakikat Nyepi, maka ucapan yang sebaiknya digunakan adalah:
Selamat Menjalankan Brata Nyepi dan Tahun Baru Saka
Atau:
Selamat menunaikan Brata Penyepian dan Tahun Baru Saka”.
Meski agak panjang, tetapi karena kita diharapkan berupaya membangun sebuah kebenaran, bukan sebuah kesalahkaprahan maka hal ini patut dilaksanakan. Ucapan yang panjang ini, menurut I Gusti Ketut Widana, juga dimaksudkan untuk mengingatkan umat bahwa ada dua aspek yang hendak dicapai melalui Nyepi yaitu:
  • Aspek internal, yaitu kewajiban umat untuk menjalankan Catur Brata Penyepian dengan sungguh-sungguh dan tulus. Tidak seperti selama ini yang secara jujur harus diakui cukup banyak umat Hindu yang melaksanakan hakikat Nyepi yang “sepi” itu dengan kegiatan “ramai-ramai”, termasuk “maceki” dan “metajen”.
  • Aspek eksternal, yaitu berupa kewajiban umat untuk mengokohkan sendi-sendi “pasemetonan” atau kekeluargaan melalui pelaksanaan tradisi “masima krama”.
Diharapkan dengan adanya pembahasan ini, tidak ada kesalahkaprahan lagi tentang arti, hakikat dan tujuan sebenarnya dari pelaksanaan Nyepi. Sehingga dengan kesadaran ini akan dapat mengokohkan eksistensi umat Hindu yang pada gilirannya nanti berimbas pada hubungan harmonis dengan umat beragama lain dalam suasana yang damai.
 

Photo Galery





Proses Kerja



Minggu, 04 Maret 2012

Bentuk, Fungsi dan Material Bangunan Rumah Tinggal Tradisional Bali Madya

Struktur Badan dan Atap Bangunan
Bentuk dan struktur badan bangunan rumah tinggal Bali Madya sebelumnya dibuat sederhana
dengan pola-pola bebaturan yang sederhana. Bentuk segi empat dan segi empat panjang adalah
bentuk yang paling banyak digunakan sebagai bangunan induk rumah tinggalnya. Sebahagian
besar bentuk atap bangunannya menggunakan bentuk limasan dan beberapa menggunakan
bentuk atap pelana seperti untuk bangunan paon/dapur.
Struktur badan bangunan tradisional Bali sebagian besar menggunakan tiang (sesaka) yang
terbuat dari kayu, begitu juga halnya dengan struktur atap menggunakan bahan kayu yang
dikombinasikan dengan bambu. Kayu yang digunakan memiliki kualifikasi atau jenis tertentu
pada setiap jenis bangunan di Bali, misalnya : kayu cendana, menengen, cempaka, kuanitan dan
majegau dipergunakan pada bangunan suci (Sanggah/Merajan/Pura). Kayu ketewel, teger,
bendu, sentul, sukun, seseh dan timbul dipergunakan untuk bangunan bale pada rumah tinggal.
Sedangkan untuk bangunan lumbung (jineng) dan dapur (paon) mempergunakan kayu wangkal,
kutat, blalu, sudep, seseh dan buhu.
Untuk studi kasus di lapangan, peneliti mendapatkan bahwa bangunan suci terbuat dari kayu dan
bambu. Kerangka tiang menggunakan kayu dengan konstruksi rangka dan sunduk serta pasak
(lait). Kerangka atapnya menggunakan kayu dan bambu khususnya untuk iga-iga-nya.

a. Struktur Badan dan Atap Bangunan
Bentuk dan struktur badan bangunan rumah tinggal Bali Madya sebelumnya dibuat sederhana
dengan pola-pola bebaturan yang sederhana. Bentuk segi empat dan segi empat panjang adalah
bentuk yang paling banyak digunakan sebagai bangunan induk rumah tinggalnya. Sebahagian
besar bentuk atap bangunannya menggunakan bentuk limasan dan beberapa menggunakan
bentuk atap pelana seperti untuk bangunan paon/dapur.
Struktur badan bangunan tradisional Bali sebagian besar menggunakan tiang (sesaka) yang
terbuat dari kayu, begitu juga halnya dengan struktur atap menggunakan bahan kayu yang
dikombinasikan dengan bambu. Kayu yang digunakan memiliki kualifikasi atau jenis tertentu
pada setiap jenis bangunan di Bali, misalnya : kayu cendana, menengen, cempaka, kuanitan dan
majegau dipergunakan pada bangunan suci (Sanggah/Merajan/Pura). Kayu ketewel, teger,
bendu, sentul, sukun, seseh dan timbul dipergunakan untuk bangunan bale pada rumah tinggal.
Sedangkan untuk bangunan lumbung (jineng) dan dapur (paon) mempergunakan kayu wangkal,
kutat, blalu, sudep, seseh dan buhu.
Untuk studi kasus di lapangan, peneliti mendapatkan bahwa bangunan suci terbuat dari kayu dan
bambu. Kerangka tiang menggunakan kayu dengan konstruksi rangka dan sunduk serta pasak
(lait). Kerangka atapnya menggunakan kayu dan bambu khususnya untuk iga-iga-nya.
b. Fungsi dan bentuk masing-masing bangunan



                                Foto 5.1 : Contoh tempat suci rumah tinggal tradisional Bali Madya

1). Unit Bangunan Suci (Sanggah/Sanggar/Merajan)
Fungsi bangunan ini adalah sebagai tempat suci atau pemujaan kepada Tuhan dan roh suci
leluhur. Pada unit bangunan suci ini terdapat beberapa bangunan dengan fungsinya masingmasing
serta jumlah bangunan-bangunan ini sangat bervariasi dan tergantung dari pemilik.
Namun demikian, yang mutlak terdapat dalam satu unit bangunan suci terdiri dari: Penglurah,
Kemulan, Padmasari, Peliangan, Taksu dan Piyasan.
b. Bale Meten/Bale Daja


                                        Fot 5.2 : Bangunan Bale Meten RumahTinggal Bali Madya

Bale Meten terletak di bagian Utara (dajan natah umah) atau di sebelah barat tempat suci/
Sanggah. Bale Meten ini juga sering disebut dengan Bale Daja, karena tempatnya di zona utara
(kaja). Fasilitas desain interiornya adalah 2 buah bale yang terletak di kiri dan kanan ruang.
Bentuk bangunan Bale Meten adalah persegi panjang, dapat menggunakan saka/tiang yang
terbuat dari kayu yang berjumlah 8 (sakutus), dan 12 (saka roras). Fungsi Bale Meten adalah
untuk tempat tidur orang tua atau Kepala Keluarga di bale sebelah kiri. Sedangkan di bale
sebelah kanan difungsikan untuk ruang suci, tempat sembahyang dan tempat menyimpan alatalat
upacara.
Sebagaimana dengan bangunan Bali lainnya, bangunan Bale Meten adalah rumah tinggal yang
memakai bebaturan dengan lantai yang cukup tinggi dari tanah halaman (±75-100 cm).
Bangunan ini adalah bangunan yang memiliki tempat tertinggi pada seluruh bale dalam satu
pekarangan disamping untuk menghindari terjadinya resapan air tanah.
c. Bale Dangin/Bale Gede
Bale Dangin terletak di bagian Timur atau dangin natah umah, sering pula disebut dengan Bale
Gede apabila bertiang 12. Fungsi Bale Dangin ini adalah untuk tempat upacara dan bias
difungsikan sebagai tempat tidur. Fasilitas pada bangunan Bale Dangin ini menggunakan 1 balebale
dan kalau Bale Gede menggunakan 2 buah bale-bale yang terletak di bagian kiri dan kanan.
Bentuk Bangunan Bale Dangin adalah segi empat ataupun persegi panjang, dan dapat
menggunakan saka/tiang yang terbuat dari kayu yang dapat berjumlah 6 (sakenem), 8
(sakutus/astasari), 9 (sangasari) dan 12 (saka roras/Bale Gede). Bangunan Bale Dangin adalah
rumah tinggal yang memakai bebaturan dengan lantai yang cukup tinggi dari tanah halaman
namun lebih rendah dari Bale Meten.


                                                      Foto 5.3 : Bangunan Bale Dangin

c. Bale Dauh/Loji
Foto 5.4 : Bangunan Bale Dauh
Bale Dauh ini terletak di bagian Barat (Dauh natah umah), dan sering pula disebut dengan Bale
Loji, serta Tiang Sanga. Fungsi Bale Dauh ini adalah untuk tempat menerima tamu dan juga
digunakan sebagai tempat tidur anak remaja atau anak muda. Fasilitas pada bangunan Bale Dauh
ini adalah 1 buah bale-bale yang terletak di bagian dalam. Bentuk Bangunan Bale Dauh adalah
persegi panjang, dan menggunakan saka atau tiang yang terbuat dari kayu. Bila tiangnya
berjumlah 6 disebut sakenem, bila berjumlah 8 disebut sakutus/astasari, dan bila tiangnya
bejumlah 9 disebut sangasari. Bangunan Bale Dauh adalah rumah tinggal yang memakai
bebaturan dengan lantai yang lebih rendah dari Bale Dangin serta Bale Meten.

Rabu, 22 Februari 2012

Pintu Ukiran Bali Digemari Pecinta Seni Berbagai Negara - All About Bali

Di desa Mulung, Sumita Gianyar Bali merupakan tempat yang sebagian penduduknya merupakan seniman ukiran kayu. Berbagai ukiran kayu dihasilkan dari desa ini.
 
Salah satunya adalah ukiran yang di pahat pada sebuah pintu. Ditangan seniman asal Mulung, Sumita ini pintu rumah di sulap menjadi barang seni yang bernilai tinggi. Telah  banyak yang menyukai jenis ukiran ini mulai dari penduduk local sampai mancanegara seperti Asia, Eropa hingga Amerika Serikat.
 
Salah satu pengerajin ukiran kayu ini adalah I Kadek Wiadnyana yang telah menekuni bidang ukiran pintu kayu ini sejak tahun 1987. Beliau memiliki tenaga pengukir sampai 75 orang. Bayangkan bagaimana larisnya permintaan jenis ukiran ini. 
 
Proses pembuatannya dimulai dari menggambar desain pada sebuah kertas dan kemudian di tempelkan pada bidang kayu yang masih utuh. Jenis desain ukirannya ada berbagai jenis seperti patra (jenis ukiran khas bali), motif bunga, pewayangan, hingga ukiran yang ekslusif sesuai dengan keinginan pembeli. Setelah penempelan desain pada bidang kayu, proses selanjutnya adalah mulai melakukan pengukiran. Alat bantu yang di gunakan adalah pahat berbagai ukiran.  dengan keahlian yang dimiliki turun temurun para pengukir mulai mengukir dengan santai sambil bersiul-siul dan menikmati pekerjaanya.
 
Waktu pengerjaan satu ukiran tergantung dari besarnya dan tingkat kerumitan dari ukiran yang akan dibuat. Biasanya satu pintu hanya diukir oleh satu orang sampai selesai, karena jika bagian-bagian ukiran di kerjakan oleh orang lain bisa memberikan sentuhan yang berbeda.
Harga ukiran ini beraneka ragam, dari mulai 2 juta rupiah dengan desain yang paling polos sampai dengan harga 100 juta rupiah.

Pintu bagi orang Bali

Pintu bagi orang Bali memiliki makna filosofis. Pintu tidak secara fisik sebagai penutup interior terhadap exterior, tetapi secara filosofis dimaknai sebagai penghubung bagi dunia manusia (mikrokosmos) terhadap seluruh jagad raya (makrokosmos). Pintu bukan sebagai penutup atau pemisah, tetapi sebagai pembuka dan penghubung manusia dengan sekitarnya.
Door for the people of Bali have philosophical meaning. The door is not physically as closing the interior of the Exterior, but philosophically understood as a liaison for the human world (microcosm) to the whole universe (the macrocosm). Not as a closing door or partition, but as an opening and connecting people with surroundings.

Bali dikenal memiliki segudang seniman ukir yang handal. Inspirasi berasal dari alam sekitar, sehingga bentuk atau motif ukiran yang muncul berupa motif tumbuhan, hewan, manusia, maupun motif ikon keagamaan. Di Bali ukiran ada dimana-mana baik berupa patung maupun ukiran pagar rumah, pintu pun tak luput menjadi 'korban' para seniman ukir Bali.
Bali is known to have a myriad of artists carving reliable. Inspiration comes from nature around, so the shape or pattern that appears in the form of carved motifs of plants, animals, humans, and the motive of religious icons. In Bali carvings are everywhere in the form of sculptures and carvings fence, the door was undoubtedly become 'victims' carved Balinese artists.
Pintu ukir Bali ini terbuat dari bahan kayu Jati (Tectona Grandis Sp.). Untuk daun pintu menggunakan bahan papan Jati tebal 3 cm. Ukiran hanya berada pada 1 (satu) sisi saja, dan biasanya sisi daun pintu yang menghadap ke luar.
Dimensi standar pintu ukir Bali adalah dengan ukuran lubang pintu 60 x 200 cm, dengan 2 (dua) buah daun pintu.
Warunk Arsitektur Online juga menerima pesanan pintu ukir Bali dengan desain dan ukuran khusus berdasarkan permintaan pembeli, tetapi ukuran terbesar pintu yang maksimal 110x200 cm dengan 2 (dua) daun pintu. Anda juga dapat memesan hanya daun pintu saja atau tanpa kusen.

The carving door made of teak (Tectona Grandis Sp.). Door leave use 3 (three) cm thick of teak wood planks. Carved only be in 1(one) side, or the leave door side facing outward.
Dimensions carved Balinese door is standard with the door hole size 60 x 200 cm, with 2 (two) door leaves.
Warunk Arsitektur Online also accept orders
for carving Balinese door with designs and special sizes on request of buyers, but the largest size 110x200 cm maximum door with 2 (two) door leaves You can also order just the door leaves only or without frames.
Tersedia berbagai macam motif, mulai dari motif tradisional Bali, tumbuhan dan bunga, hewan dan gambar manusia. Semua disesuaikan dengan selera konsumen. Ukiran gaya Bali berbeda dengan ukiran Jawa secara umum. Biasanya ukiran Bali cenderung lebih dalam pahatannya serta iramanya lebih lentur atau lebih lentik dbandingkan ukiran Jawa.
There are a variety of motives, ranging from traditional Balinese motifs, plants and flowers, animals and human images. All tailored to consumer tastes. Balinese carving carving differs from Java in general. Usually carved in Bali tend to be more flexible pahatannya and rhythm or more flicks dbandingkan Java carvings.

Selasa, 21 Februari 2012

Merajan

Jika bangunan inti hanya Padmasana, sebagaimana tradisi yang ada di luar Pulau Bali, maka selain Padmasana dibangun juga
  • pelinggih TAKSU sebagai niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya Brahma yang memberikan manusia kemampuan belajar/ mengajar sehingga memiliki pengetahuan, dan
  • PANGRURAH sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala yaitu "putra" Siwa yang melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia.
Bangunan lain yang bersifat sebagai penunjang adalah:
  • PIYASAN yaitu bangunan tempat bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari piodalan, di mana diletakkan juga sesajen (banten) yang dihaturkan.
  • BALE PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih memuja.
Di Madya Mandala dibangun
  • BALE GONG, tempat gambelan,
  • BALE PESANDEKAN, tempat rapat atau menyiapkan diri dan menyiapkan banten sebelum masuk ke Utama Mandala.
  • BALE KULKUL yaitu tempat kulkul (kentongan) yang dipukul sebagai isyarat kepada pemuja bahwa upacara akan dimulai atau sudah selesai.
Jika ingin membangun Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada dapat "turut" 3,5,7,9, dan 11. "Turut" artinya "berjumlah".
Turut
Jenis Pelinggih
Keterangan
Turut 3
1
Padmasari
2
Kemulan Rong tiga
3
Taksu
Kemulan Rong tiga adalah Hyang Guru atau Tiga Sakti: Brahma, Wisnu, Siwa. Jenis turut ini digunakan oleh tiap keluarga di rumahnya masing-masing
Turut 5
1
Padmasari
2
Kemulan Rong Tiga
3
Taksu
4
Pangrurah
5
Baturan Pengayengan
Baturan Pengayengan yaitu pelinggih untuk memuja ista dewata yang lain.
Turut 7
1
Padmasari
2
Kemulan Rong Tiga
3
Taksu
4
Pangrurah
5
Baturan Pengayengan
6
Pelinggih Limas Cari (Gunung Agung)
7
Limas Catu (Gunung Lebah)
Yang dimaksud dengan Gunung Agung dan Gunung Lebah (Batur) adalah symbolisme Hyang Widhi dalam manifestasi yang menciptakan "Rua Bineda" atau dua hal yang selalu berbeda misalnya: lelaki dan perempuan, siang dan malam, dharma dan adharma, dll.
Turut 9
1
Padmasari
2
Kemulan Rong Tiga
3
Taksu
4
Pangrurah
5
Baturan Pengayengan
6
Pelinggih Limas Cari (Gunung Agung)
7
Limas Catu (Gunung Lebah)
8
Pelinggih Sapta Petala
9
Manjangan Saluwang
Pelinggih Sapta Petala adalah pemujaan Hyang Widhi sebagai penguasa inti bumi yang menyebabkan manusia dan mahluk lain dapat hidup. Manjangan Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha Rsi yang paling berjasa mempertahankan Agama Hindu di Bali.
Turut 11
1
Padmasari
2
Kemulan Rong Tiga
3
Taksu
4
Pangrurah
5
Baturan Pengayengan
6
Pelinggih Limas Cari (Gunung Agung)
7
Limas Catu (Gunung Lebah)
8
Pelinggih Sapta Petala
9
Manjangan Saluwang
10
Gedong Kawitan
11
Gedong Ibu
Gedong Kawitan adalah pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di Bali dan yang mengembangkan keturunan. Gedong Ibu adalah pemujaan leluhur dari pihak wanita (istri Kawitan).

Cara menempatkan pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, di mana yang diletakkan di hulu adalah Padmasari/ Padmasana, sedangkan yang diletakkan di teben adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan di atas. Bila halamannya terbatas sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka letak bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet dari pojok hulu ke teben kiri dan keteben kanan.

Pura Merajan (Sanggah Pamerajan)

1 Kemulan Rong-3
2 Pelinggih Sedahan Pengerurah
3 Gedong Taksu
 
Sanggah Pamerajan
oleh: Bhagawan Dwija
Sanggah Pamerajan berasal dari kata: Sanggah, artinya Sanggar= tempat suci; Pamerajan berasal dari Praja= keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan artinya = tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Untuk singkatnya orang menyebut secara pendek : Sanggah, atau Merajan. Tidak berarti bahwa Sanggah untuk orang Jaba, sedangkan Merajan untuk Triwangsa. Yang satu ini kekeliruan di masyarakat sejak lama, perlu diluruskan.
Menurut bentuknya Sanggah Pamerajan, ada tiga versi :

a Yang dibangun mengikuti konsep Mpu Kuturan Trimurti maka pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Kemulan (Rong Tiga, Dua, Satu), tidak mempunyai pelinggih Padmasana/ Padmasari.
b Yang dibangun mengikuti konsep Danghyang Nirarta Tripurusha maka pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Padmasana/ Padmasari, sedangkan pelinggih Kemulan tidak berada di Utama Mandala
c Kombinasi keduanya   biasanya dibangun setelah abad ke-14, maka pelinggih Padmasana/ Padmasari tetap di ‘hulu’, namun di sebelahnya ada pelinggih Kemulan
Trimurti, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Ang – Ung – Mang (AUM = OM) atau Brahma, Wisnu, Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi horizontal, dimana Brahma di arah Daksina, Wisnu di Uttara, dan Siwa di Madya.
Tripurusha, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi vertikal, dimana Parama Siwa yang tertinggi kemudian karena terpengaruh Maya menjadilah Sada Siwa, dan Siwa.
Yang mana yang baik/ tepat ?
1. Menurut keyakinan anda masing-masing.
2. Namun ada acuan, bahwa konsep Mpu Kuturan disebarkan di Bali pada abad ke-11. Konsep Danghyang Nirarta dikembangkan di Bali sejak abad ke-14, berdasarkan wahyu yang diterima beliau di Purancak/ Jembrana.
3. Jadi menurut pendapat saya, memakai kedua konsep, atau kombinasi a dan b adalah yang tepat karena kita menghormati kedua-duanya, dan kedua-duanya itu benar, mengingat Sanghyang Widhi ada di mana-mana, baik dalam kedudukan horizontal maupun dalam kedudukan vertikal.
Namun demikian tidaklah berarti Sanggah Pamerajan yang sudah kita warisi berabad-abad lalu dibongkar, karena dalam setiap upacara, toh para Sulinggih sudah ‘ngastiti’ Bhatara Siwa Raditya (Tripurusha) dan juga Bhatara Hyang Guru (Trimurti)
1. Sanggah Pamerajan dibedakan menjadi 3 :
a. Sanggah Pamerajan Alit (milik satu keluarga kecil)
b. Sanggah Pamerajan Dadia (milik satu soroh terdiri dari beberapa ‘purus’ (garis keturunan)
c. Sanggah Pamerajan Panti (milik satu soroh terdiri dari beberapa Dadia dari lokasi Desa yang sama),
2. Pelinggih di Sanggah Pamerajan (SP) :

a Sanggah Pamerajan Alit
  • Padmasari
  • Kemulan Rong Tiga
  • Taksu
b Sanggah Pamerajan Dadia
  • Padmasana
  • Kemulan Rong Tiga
  • Limas Cari
  • Limas Catu
  • Manjangan Saluang
  • Pangrurah
  • Saptapetala
  • Taksu
  • Raja Dewata
c Sanggah Pamerajan Panti Sanggah Pamerajan Dadia ditambah dengan Meru atau Gedong palinggih Bhatara Kawitan
Palinggih-palinggih lainnya yang tidak teridentifikasi seperti tersebut di atas, disebut ‘pelinggih wewidian’ yaitu pelinggih yang berhubungan dengan sejarah hidup leluhur di masa lampau, misalnya mendapat paica, atau kejumput oleh Ida Bhatara di Pura lain, misalnya dari Pura Pulaki, Penataran Ped, Bukit Sinunggal, dll, maka dibuatkanlah pelinggih khusus berbentuk limas atau sekepat sari.
Pada beberapa Sanggah Pamerajan sering dijumpai pelinggih wewidian ini jumlahnya puluhan, berjejer. Namun disayangkan karena leluhur kita di masa lampau terkadang lupa menuliskan riwayat hidup beliau, sehingga keturunannya sekarang banyak yang tidak tahu, pelinggih apa saja yang ada di Sanggah Pamerajannya.
Pelinggih-pelinggih umum yang terdapat di Sanggah Pamerajan adalah stana dalam niyasa Sanghyang Widhi dan roh leluhur yang dipuja :
1 Padmasana/ Padmasari Sanghyang Tri Purusha, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa.
2 Kemulan rong tiga Sanghyang Trimurti, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Brahma – Wisnu – Siwa atau disingkat Bhatara Hyang Guru. Ada juga kemulan rong 1 (Sanghyang Tunggal), rong 2 (Ardanareswari), rong 4 (Catur Dewata), rong 5 (Panca Dewata)
3 Sapta Petala Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai pertiwi dengan tujuh lapis : patala, witala, nitala, sutala, tatala, ratala, satala. Sapta petala juga berisi patung naga sebagai symbol naga Basuki, pemberi kemakmuran.
4 Taksu Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Bhatari Saraswati (sakti Brahma) penganugrah pengetahuan.
5 Limascari dan limascatu Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai ardanareswari : pradana – purusha, rwa bhineda.
6 Pangrurah Sanghyang Widhi sebagai manifestasi Bhatara Kala, pengatur kehidupan dan waktu.
7 Manjangan Saluwang pelinggih sebagai penyungsungan Mpu Kuturan, mengingat jasa-jasa beliau yang mengajegkan Hindu di Bali.
8 Raja-Dewata pelinggih roh para leluhur (dibawah Bhatara Kawitan)

ASTA KOSALA KOSALI

ASTA KOSALA dan ASTA BUMI.
Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan.
Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih.
Aturan tentang Asta Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh Pendeta: Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan. Uraian mengenai Asta Kosala khusus untuk bangunan Padmasana telah dikemukakan pada bab: Hiasan Padmasana, Bentuk-bentuk Padmasana dan Letak Padmasana.
Asta Bumi menyangkut pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai berikut:
1 Tujuan Asta Bumi adalah
a Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi
b Mendapat vibrasi kesucian
c Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi
2 Luas halaman
a Memanjang dari Timur ke Barat ukuran yang baik adalah: Panjang dalam ukuran "depa" (bentangan tangan lurus dari kiri ke kanan dari pimpinan/klian/Jro Mangku atau orang suci lainnya): 2,3,4,5,6,7,11,12,14,15,19. Lebar dalam ukuran depa: 1,2,3,4,5,6,7,11,12,14,15. Alternatif total luas dalam depa: 2x1,3x2, 4x3, 5x4, 6x5, 7x6, 11x7, 12x11, 14x12, 15x14, 19x15.
b Memanjang dari Utara ke Selatan ukuran yang baik adalah: Panjang dalam ukuran depa: 4,5,6,13,18. Lebar dalam ukuran depa: 5,6,13. Alternatif total luas dalam depa: 6x5, 13x6, 18x13
Jika halaman sangat luas, misalnya untuk membangun Padmasana kepentingan orang banyak seperti Pura Jagatnatha, dll. boleh menggunakan kelipatan dari alternatif yang tertinggi. Kelipatan itu: 3 kali, 5 kali, 7 kali, 9 kali dan 11 kali.
Misalnya untuk halaman yang memanjang dari Timur ke Barat, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah: 3x(19x15), 5x(19x15), 7x(19x15), 9x(19x15), 11x(19x15).
Untuk yang memanjang dari Utara ke Selatan, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah: 3x(18x13), 5x(18x13), 7x(18x13), 9x(18x13), 11x(18x13).
HULU-TEBEN.
"Hulu" artinya arah yang utama, sedangkan "teben" artinya hilir atau arah berlawanan dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ada dua patokan mengenai hulu yaitu
  1. Arah Timur, dan
  2. Arah "Kaja"
Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan tepat dengan menggunakan kompas.
Arah kaja adalah letak gunung atau bukit.
Cara menentukan lokasi Pura adalah menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya jika memilih timur sebagai hulu agar benar-benar timur yang tepat, jangan melenceng ke timur laut atau tenggara. Jika memilih kaja sebagai hulu, selain melihat gunung atau bukit juga perhatikan kompas. Misalnya jika gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar di arah utara sesuai kompas, jangan sampai melenceng ke arah timur laut atau barat laut, demikian seterusnya. Pemilihan arah hulu yang tepat sesuai dengan mata angin akan memudahkan membangun pelinggih-pelinggih dan memudahkan pelaksanaan upacara dan arah pemujaan.
BENTUK HALAMAN.
Bentuk halaman pura adalah persegi empat sesuai dengan ukuran Asta Bumi sebagaimana diuraikan terdahulu. Jangan membuat halaman pura tidak persegi empat misalnya ukuran panjang atau lebar di sisi kanan - kiri berbeda, sehingga membentuk halaman seperti trapesium, segi tiga, lingkaran, dll. Hal ini berkaitan dengan tatanan pemujaan dan pelaksanaan upacara, misalnya pengaturan meletakkan umbul-umbul, penjor, dan Asta kosala.
PEMBAGIAN HALAMAN.
Untuk Pura yang besar menggunakan pembagian halaman menjadi tiga yaitu:
  1. Utama Mandala
  2. Madya Mandala
  3. Nista Mandala.
Ketiga Mandala itu merupakan satu kesatuan, artinya tidak terpisah-pisah, dan tetap berbentuk segi empat; tidak boleh hanya utama mandala saja yang persegi empat, tetapi madya mandala dan nista mandala berbentuk lain.
Utama mandala adalah bagian yang paling sakral terletak paling hulu, menggunakan ukuran Asta Bumi;
Madya Mandala adalah bagian tengah, menggunakan ukuran Asta Bumi yang sama dengan utama Mandala;
Nista Mandala adalah bagian teben, boleh menggunakan ukuran yang tidak sama dengan utama dan nista mandala hanya saja lebar halaman tetap harus sama.
Di Utama mandala dibangun pelinggih-pelinggih utama, di madya mandala dibangun sarana-sarana penunjang misalnya bale gong, perantenan (dapur suci), bale kulkul, bale pesandekan (tempat menata banten), bale pesamuan (untuk rapat-rapat), dll. Di nista mandala ada pelinggih
"Lebuh" yaitu stana Bhatara Baruna, dan halaman ini dapat digunakan untuk keperluan lain misalnya parkir, penjual makanan, dll.
Batas antara nista mandala dengan madya mandala adalah "Candi Bentar" dan batas antara madya mandala dengan utama mandala adalah "Gelung Kori", sedangkan nista mandala tidak diberi pagar atau batas dan langsung berhadapan dengan jalan.
MENETAPKAN PEMEDAL.
Pemedal adalah gerbang, baik berupa candi bentar maupun gelung kori. Cara menetapkan pemedal sebagai berikut: 1) Ukur lebar halaman dengan tali. 2) Panjang tali itu dibagi tiga. 3) Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah "as" pemedal. Dari as ini ditetapkan lebarnya gerbang apakah setengah depa atau satu depa, tergantung dari besar dan tingginya bangunan candi bentar dan gelung kori. Yang dimaksud dengan teben dalam ukuran pemedal ini adalah arah yang bertentangan dengan hulu dari garis halaman pemedal. Misalnya hulu halaman Pura ada di Timur, maka teben dalam menetapkan gerbang tadi adalah utara, kecuali di utara ada gunung maka tebennya selatan, demikian seterusnya. Penetapan gerbang candi bentar dan gelung kori ini penting untuk menentukan letak pelinggih sesuai dengan asta kosala.

JARAK ANTAR PELINGGIH.
Jarak antar pelinggih yang satu dengan yang lain dapat menggunakan ukuran satu "depa", kelipatan satu depa, "telung tapak nyirang", atau kelipatan telung tapak nyirang. Pengertian "depa" sudah dikemukakan di depan, yaitu jarak bentangan tangan lurus dari ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan. Yang dimaksud dengan "telung tampak nyirang" adalah jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan satu kiri) ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi melintang. Baik depa maupun tapak yang digunakan adalah dari orang yang dituakan dalam kelompok "penyungsung" (pemuja) Pura. Jarak antar pelinggih dapat juga menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari harmonisasi letak pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar pelinggih juga mencakup jarak dari tembok batas ke pelinggih-pelinggih. Ketentuan-ketentuan jarak itu juga tidak selalu konsisten, misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak, sedangkan jarak ke "Piasan" dan Pemedal (gerbang) menggunakan depa. Ketentuan ini juga berlaku bagi bangunan dan pelinggih di Madya Mandala.
PELINGGIH (STANA) YANG DIBANGUN. Jika bangunan inti hanya Padmasana, sebagaimana tradisi yang ada di luar Pulau Bali, maka selain Padmasana dibangun juga pelinggih TAKSU sebagai niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya Brahma yang memberikan manusia kemampuan belajar/mengajar sehingga memiliki pengetahuan, dan PANGRURAH sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala yaitu "putra" Siwa yang melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia. Bangunan lain yang bersifat sebagai penunjang adalah: PIYASAN yaitu bangunan tempat bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari piodalan, di mana diletakkan juga sesajen (banten) yang dihaturkan. BALE PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih memuja. Di Madya Mandala dibangun BALE GONG, tempat gambelan, BALE PESANDEKAN, tempat rapat atau menyiapkan diri dan menyiapkan banten sebelum masuk ke Utama Mandala. BALE KULKUL yaitu tempat kulkul (kentongan) yang dipukul sebagai isyarat kepada pemuja bahwa upacara akan dimulai atau sudah selesai.
Jika ingin membangun Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada dapat "turut" 3,5,7,9, dan 11. "Turut" artinya "berjumlah". Turut 3: Padmasari, Kemulan Rong tiga (pelinggih Hyang Guru atau Tiga Sakti: Brahma, Wisnu, Siwa), dan Taksu. Jenis ini digunakan oleh tiap keluarga di rumahnya masing-masing. Turut 5: Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, "Baturan Pengayengan" yaitu pelinggih untuk memuja ista dewata yang lain. Turut 7: adalah turut 5 ditambah dengan pelinggih Limas cari (Gunung Agung) dan Limas Catu (Gunung Lebah). Yang dimaksud dengan Gunung Agung dan Gunung Lebah (Batur) adalah symbolisme Hyang Widhi dalam manifestsi yang menciptakan "Rua Bineda" atau dua hal yang selalu berbeda misalnya: lelaki dan perempuan, siang dan malam, dharma dan adharma, dll. Turut 9 adalah turut 7 ditambah dengan pelinggih Sapta Petala dan Manjangan Saluwang. Pelinggih Sapta Petala adalah pemujaan Hyang Widhi sebagai penguasa inti bumi yang menyebabkan manusia dan mahluk lain dapat hidup. Manjangan Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha Rsi yang paling berjasa mempertahankan Agama Hindu di Bali. Turut 11 adalah turut 9 ditambah pelinggih Gedong Kawitan dan Gedong Ibu. Gedong Kawitan adalah pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di Bali dan yang mengembangkan keturunan. Gedong Ibu adalah pemujaan leluhur dari pihak wanita (istri Kawitan).
Cara menempatkan pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, di mana yang diletakkan di hulu adalah Padmasari/Padmasana, sedangkan yang diletakkan di teben adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan di atas. Bila halamannya terbatas sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka letak bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet dari pojok hulu ke teben kiri dan keteben kanan.
Sumber: Bhagawan Dwija

Bangunan diproses penjiwaannya sebagai suatu kelahiran ke bumi dengan upakara sebagaimana layaknya suatu kelahiran dan kehidupan. Upacara ngulihin karang adalah suatu upakara semacam dikawinkan antara bangunan dengan pemilik-pemakainya.
Membangun Pura dengan Kesadaran Mendasar
Oleh N. Gelebet
Menyukuri kesejahteraan karunia Hyang Widhi, dibangunlah pura sebagai tempat pemujaan dalam manifestasinya, spirit geginan dan roh leluhur yang diharapkan menyatu dengan-Nya untuk kerahayuan jagat. Pembangunan tempat pemujaan berkembang dari seonggok batu untuk panjatan memuja yang di langit, meru bayangan gunung, padma kemanunggalan dan kini penampilan jamak semarak dengan kemanjaan teknologi.

Kesadaran mendasar dalam membangun pura memang seharusnya melestarikan landasan konseptualnya. Peranan dinas, instansi yang mengambil alih peran krama, dengan pengalihan hak atas bukti pura dan kebijakan meniadakan prosesi pratima yang ditinggal krama yang tidak lagi ngayah kini tanpa karang ayahan, merupakan gejala kesadaran palsu yang terjadi dalam beberapa kasus.

Proses Membangun Pura

Berawal dari nyanggra pengempon, pengemong dan penyiwi, dilanjutkan dengan nyanyan dialog ritual dengan sesuhunan yang distanakan di pura yang dibangun. Tujuannya, untuk mendapatkan kesepakatan atas kesepahaman sekala-niskala apa dan bagaimana membangun pura. Kemudian dengan penetapan program dan penjadwalannya sesuai subadewasa dilakukan nyikut, ngruak karang dan nyangga ngurip gegulak, ngadegang sanggar wiswakarma. Keberadaan gegulak dipandang sebagai acuan hidup modul pendimensian, setelah melalui ritus pengurip dan pengaci, nantinya wajib di-pralina setelah bangunan selesai di-plaspas. Dengan penjiwaan sejak awal, keseimbangan atma, angga lan khaya wewangunan dapat terwujud.
Selanjutnya ngelakar sesuai keperluan dan ketentuan penggunaan bahan untuk bangunan pura yang masing-masing peruntukannya (parahyangan, pawongan, palemahan) ada ketentuan jenis kayunya. Di mana dan bagaimana mendapatkannya, melalui permakluman atau permohonan di ulun tegal yang mewilayahi. Pantangan kayu tumbuh di sempadan sungai, setra, di batas, rebah tersangkut, melintang jalan, tunggak wareng dan lainnya wajib ditaati sebagai suatu keyakinan.
Pekerjaan komponen konstruksi dilakukan di jaba sisi pura atau di suatu tempat yang wajar. Pelaku tukang wajib menaati tata cara kramaning tukang sesuai ketentuan dan arahan undagi manggalaning wewangunan. Dalam proses pengerjaan, setiap tahap tertentu melalui ritus upakara yang dipimpin undagi, tan keneng cuntaka, namun wajib menaati brata ke-undagi-an. Dalam menjalankan profesinya, undagi atas nama (ngelinggihang) Hyang Wiswakarma. Keberadaannya serentak menyandang kapican, kawikon dan katakson, bagi undagi yang telah menjalani prosesnya sesuai ketentuan tatwa, jnana dan upakara.
Bahan bangunan, tukang dan pekerja mengutamakan dari wilayah sekitar. Peranan teknologi bukan hal yang ditabukan. Menghindari pelaksanaan sistem tender yang sulit dipertanggungjawabkan secara kualitas, legalitas ritual maupun proses penjiwaannya. Dengan diabaikannya filsafat, konseptual dan tatwa acuan tata cara membangun pura, sulit diharapkan unsur penjiwaannya sehingga megah maraknya bangunan pura yang kini diwacanakan sebagai kehampaan tanpa taksu karismatis.
Pemugaran Pura-pura kuno yang menggusur katakson-nya batu-batu nunggul megalitikum, mengembangkan belasan pelinggih sepertinya mengalami kemunduran monis yang dikembalikan ke polis. Memang berpeluang untuk tampil megah meriah di kulit luar, namun hampa tanpa magis power yang menjiwai.
Pembangunan pura tanpa pedoman Asta Kosali, tanpa acuan gegulak modul dimensi, cenderung tampil sebagai bangunan rekreasi berlanskap buatan berornamen mengada-ada.

Pekerjaan Konstruksi

Setelah nyanggra, nyanjan, nyikut dan nglakar, pekerjaan konstruksi dilanjutkan dengan ngaug, ngakit dan ngasren yang diakhiri dengan ngurip/melaspas dan ngenteg linggih dengan rangkaiannya sesuai tingkatan, runut dan runtutannya yang rumit. Peranan undagi dari tahap 1 s.d. 8 dalam satu paket: atma, angga, khaya seutuhnya sesuai ketentuan khusus Asta Kosali yang sulit dipahami profesi lain.
Kemudian ngenteg linggih berdasarkan tegak wali manut tengeran, sasih atau wewaran (solar, lunar atau galaxy system). Pelaksanaannya sesuai ketentuan dudonan upacara dengan upakara dan pamuput-nya masing-masing. Peranan undagi dalam rangkaian yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat ini, sebatas pengamatan uji fungsi apakah semua unit, bagian dan komponen sudah berfungsi sesuai dengan hakikat akidah ruang ritual yang direncanakan.
Pekerjaan konstruksi ngaug sunduk saat posisi matahari di mana bayangan garis atas lubang depan berimpit dengan garis bawah lubang belakang adalah saat tepat yang ditetapkan. Posisi ngaug betaka beti meru, pancung ngakit atap limasan nasarin dan mendem pedagingan adalah ritus-ritus yang diyakini sebagai penjiwaan yang mampu mengantisipai ancaman bencana gempa, petir dan badai angin ngelinus puting beliung. Dengan kemampuan tahan bencana menjadikan karisma taksu suatu bangunan semakin diyakini keunggulan kebenarannya yang memang terbukti dalam kajian arsitektural tradisional.
Ngasren wewangunan (pekerjaan finishing) tidak dibenarkan dengan menghilangkan sifat-sifat fisis, chemis dan karakter estetika bahan alami yang membawa keindahan alami kodrati. Pewarnaan justru merusak di saat usangnya yang semakin parah manakala perawatan diabaikan.

Ngurip Wewangunan

Prosesnya sejak awal, ngruak karang alih fungsi dari karang tegal menjadi karang wawangunan atau mandala pura. Ukuran pekarangan dengan pengurip asta musti, ukuran halaman dengan pengurip tampak ngandang, ukurang bangunan dengan pengurip nyari, guli, guli madu, useran jari, dan bagian-bagian dari modul dimensi tiang. Tata letak dengan urip pengider, urip perwujudan, pengurip perwujudan, pengurip gegulak, urip dina wawaran dan urip pengurip-urip pemakuh. Makna pengurip wewangunan saat melaspas adalah menghidupkan dengan penjiwaan sebagai bangunan sesuai namanya.
Bahan-bahan bangunan telah dimatikan saat pengadaannya menjadi bahan bangunan. Saat upacara melaspas, jiwanya dikembalikan ke asalnya masing-masing. Dilakukan upacara peleburan dan dihidupkan (ngurip) dengan fungsi baru yang namanya bangunan. Bangunan inilah yang kemudian diproses penjiwaannya sebagai suatu kelahiran ke bumi dengan upakara sebagaimana layaknya suatu kelahiran dan kehidupan. Upacara ngulihin karang adalah suatu upakara semacam dikawinkan antara bangunan dengan pemilik-pemakainya.
Klasik, etnik dan unik memang, namun itulah pengurip penjiwaan sepanjang proses membangun. Bagi pandangan sekuler tentunya sebagai sesuatu yang berlebihan, mitos dan dogma yang dipandang sebagai pemborosan sia-sia.
Benarkah dengan diabaikannya ritus pengurip menyebabkan terjadinya pembangunan tanpa taksu yang semarak dalam fisik namun hampa dalam kejiwaannya? Bagaimana mungkin penjiwaan terjadi dalam pembangunan tanpa peran undagi, tanpa gegulak, yang dibangun dengan sistem tender.
Raibnya bukti pura, ditinggalkannya ayahan pratima dan menipisnya peranan krama, dapat memicu terjadinya kesadaran palsu membangun pura sistem proyek yang ditenderkan.
Sumber: Terimakasih kepada Bali Post