Selasa, 21 Februari 2012

ARSITEKTUR PERSEMBAHAN

Arsitektur secara umum memang tidak bisa dimasukkan kedalam kelompok senirupa - kendati pada akhirnya akan dilihat keindahan bentuk - karena didalamnya terdapat pakem-pakem teknis dan rasa ruang yang sama berat timbangannya dengan seni menata wajah. Pun, fungsi arsitektur untuk berbagai kegiatan dan berbagai pemakai akan melahirkan bentuk dan wajah yang berbeda pula sehingga dapat dikatakan bahwa arsitektur adalah hasil olahan berbagai kepentingan (seni, teknis dan rasa) untuk dipergunakan memenuhi salah satu dari 5 kebutuhan dasar manusia (sandang, pangan, papan-ruang kegiatan - arsitektur, kesehatan dan pendidikan). Lebih khusus lagi Arsitektur Tradisional Bali tidak saja menganut pakem seni, teknis dan rasa ruang namun didalamnya terdapat tatanan filosofi adat dan agama Hindu. Prosesi mengolah bahan bangunan- misalnya kayu yang berasal dari pohon tertentu - hingga menjadi elemen bangunan merupakan tahap-tahap yang mesti dilakoni lewat nilai filosofi, adat dan agama. Pohon dengan ketinggian tertentu yang saat ditebang menimpa sungai, misalnya, tidak bisa dipergunakan sebagai bahan bangunan karena akan menimbulkan akibat buruk bagi pemakainya. Aturan adat dan agama seperti ini tentu pada hakekatnya adalah memberi perlindungan terhadap alam lingkungan untuk memperhatikan sempadan sungai sehingga kelestarian akan terjaga.
Dalam Arsitektur Tradisional Bali sangat banyak aturan dan tatanan adat dan filosofi agama yang mesti dipahami dan dianut oleh seorang arsitek tradisional (arsitek Bali disebut Undagi). Karena itu, seorang Undagi pada dasarnya adalah manusia utama yang mesti mampu memahami seni, komposisi, proporsi, teknis, rasa ruang, filosofi agama, aturan adat (awig-awig) dan bahkan sepatutnya memahami puja mantra karena Sang Undagi berhak melakukan prosesi keagamaan saat memulai pekerjaan (upacara Ngeruak Karang), masa pelaksanaan hingga peresmian bangunan (upacara Pamelaspas). Dalam melaksanakan rancangannya, sang Undagi dibantu oleh tenaga pelaksana yang ahli dibidangnya seperti tukang batu, kayu, struktur dan tukang ukir yang disebut Sangging. Jika di Bali terlihat bentuk bangunan Bali yang beraneka ragam, hal itu disebabkan karena fungsi, pemakai dan daerahnya yang berbeda sehingga wujud tampilannya-pun berbeda. Semua aturan dan tatanan tentang arsitektur tradisional Bali terhimpun dalam naskah kuno berupa lontar, antara lain: Asta Bhumi, Asta Kosala-Kosali dan berbagai lontar tentang tata cara pelaksanaan upacara pada bangunan.
Bertolak dari berbagai peninggalan arsitektur Bali masa lalu dan bentuk pengembangannya kini, beberapa undagi (arsitek Bali) mengatakan setidaknya tatanan Arsitektur Tradisional Bali terbagi dalam 5 (lima) kelompok besar, yaitu:
    a. Astha Kosalaning Dewa untuk Bangunan Suci / Pura.
    b. Astha Kosalaning Desa untuk Tata lingkungan Desa.
    c. Astha Kosalaning Tetambakan untuk bangunan batas pekarangan.
    d. Astha Kosalaning Pakubon untuk bangunan perumahan.
    e. Astha Kosalaning Wong Pejah untuk bangunan kematian / Ngaben.
Dari 5 kelompok ini, arsitektur tradisional Bali diterjemahkan lebih luas lagi sesuai dengan fungsi spesifik, lapis sosial penggunanya dan ciri daerah masing-masing yang melahirkan bentuk beragam.
Kendati berpedoman pada banyak aturan, terdapat aturan dasar yang berlaku umum dalam menyusun rancangan satu bangunan Bali, antara lain:
    a. Filosofi Ruang: Dalam filosofi agama Hindu dikenal adanya tiga lapisan nilai yaitu "utama-madya-nista" sebagai tingkatan pertama, kedua dan ketiga, yang dijadikan pedoman dalam menetapkan tingkatan mutu suatu kegiatan. Tata ruang arsitektur tradisional Bali-pun berpedoman pada nilai tersebut yang pada akhirnya memperolah 9 ruang didapat dari paduan tiga nilai sumbu spirit (timur - barat) dan tiga nilai sumbu alam (utara - selatan).
    b. Dimensi: Hal umum yang berlaku dalam membuat rancangan bangunan Bali adalah dimensi atau ukuran ruang dan elemen bangunan. Patokan yang dipergunakan dalam menentukan ukuran bangunan adalah konfigurasi bagian tangan dan kaki dari pemilik, undagi atau pendeta yang disebut dengan "sikut" atau "gegulak".
    c. Upacara: Pembangunan semua jenis bangunan Bali dibarengi dengan upacara menurut aturan agama Hindu, mulai sejak menebang pohon, awal pelaksanaan hingga saat peresmian penggunaan bangunan, lalu secara berkala tetap dilakukan upacara saat bangunan tersebut dihuni dan hingga saat akhir jika dibongkar dilakukan satu upacara "pralina" atau peleburan.
Dari tiga hal ini sudah dapat dipahami bahwa arsitektur tradisional Bali memiliki tempat khusus dalam tatanan Hindu dan dipandang sebagai sesuatu yang "hidup" karena melalui proses lahir-hidup-mati atau "utpeti-stiti-pralina"

0 komentar: