Arsitektur secara umum memang tidak bisa dimasukkan kedalam kelompok senirupa - kendati pada akhirnya akan dilihat keindahan bentuk - karena didalamnya terdapat pakem-pakem teknis dan rasa ruang yang sama berat timbangannya dengan seni menata wajah. Pun, fungsi arsitektur untuk berbagai kegiatan dan berbagai pemakai akan melahirkan bentuk dan wajah yang berbeda pula sehingga dapat dikatakan bahwa arsitektur adalah hasil olahan berbagai kepentingan (seni, teknis dan rasa) untuk dipergunakan memenuhi salah satu dari 5 kebutuhan dasar manusia (sandang, pangan, papan-ruang kegiatan - arsitektur, kesehatan dan pendidikan). Lebih khusus lagi Arsitektur Tradisional Bali tidak saja menganut pakem seni, teknis dan rasa ruang namun didalamnya terdapat tatanan filosofi adat dan agama Hindu. Prosesi mengolah bahan bangunan- misalnya kayu yang berasal dari pohon tertentu - hingga menjadi elemen bangunan merupakan tahap-tahap yang mesti dilakoni lewat nilai filosofi, adat dan agama. Pohon dengan ketinggian tertentu yang saat ditebang menimpa sungai, misalnya, tidak bisa dipergunakan sebagai bahan bangunan karena akan menimbulkan akibat buruk bagi pemakainya. Aturan adat dan agama seperti ini tentu pada hakekatnya adalah memberi perlindungan terhadap alam lingkungan untuk memperhatikan sempadan sungai sehingga kelestarian akan terjaga.
Dalam Arsitektur Tradisional Bali sangat
banyak aturan dan tatanan adat dan filosofi agama yang mesti dipahami
dan dianut oleh seorang arsitek tradisional (arsitek Bali disebut Undagi).
Karena itu, seorang Undagi pada dasarnya adalah manusia utama yang
mesti mampu memahami seni, komposisi, proporsi, teknis, rasa ruang,
filosofi agama, aturan adat (awig-awig) dan bahkan sepatutnya memahami puja mantra karena Sang Undagi berhak melakukan prosesi keagamaan saat memulai pekerjaan (upacara Ngeruak Karang), masa pelaksanaan hingga peresmian bangunan (upacara Pamelaspas).
Dalam melaksanakan rancangannya, sang Undagi dibantu oleh tenaga
pelaksana yang ahli dibidangnya seperti tukang batu, kayu, struktur dan
tukang ukir yang disebut Sangging.
Jika di Bali terlihat bentuk bangunan Bali yang beraneka ragam, hal itu
disebabkan karena fungsi, pemakai dan daerahnya yang berbeda sehingga
wujud tampilannya-pun berbeda. Semua aturan dan tatanan tentang
arsitektur tradisional Bali terhimpun dalam naskah kuno berupa lontar,
antara lain: Asta Bhumi, Asta Kosala-Kosali dan berbagai lontar tentang tata cara pelaksanaan upacara pada bangunan.
Bertolak dari berbagai peninggalan arsitektur
Bali masa lalu dan bentuk pengembangannya kini, beberapa undagi (arsitek
Bali) mengatakan setidaknya tatanan Arsitektur Tradisional Bali terbagi
dalam 5 (lima) kelompok besar, yaitu:
- a. Astha Kosalaning Dewa untuk Bangunan Suci / Pura.
- b. Astha Kosalaning Desa untuk Tata lingkungan Desa.
- c. Astha Kosalaning Tetambakan untuk bangunan batas pekarangan.
- d. Astha Kosalaning Pakubon untuk bangunan perumahan.
- e. Astha Kosalaning Wong Pejah untuk bangunan kematian / Ngaben.
Kendati
berpedoman pada banyak aturan, terdapat aturan dasar yang berlaku umum
dalam menyusun rancangan satu bangunan Bali, antara lain:
- a. Filosofi Ruang:
Dalam filosofi agama Hindu dikenal adanya tiga lapisan nilai yaitu "utama-madya-nista"
sebagai tingkatan pertama, kedua dan ketiga, yang dijadikan pedoman
dalam menetapkan tingkatan mutu suatu kegiatan. Tata ruang arsitektur
tradisional Bali-pun berpedoman pada nilai tersebut yang pada akhirnya
memperolah 9 ruang didapat dari paduan tiga nilai sumbu spirit (timur -
barat) dan tiga nilai sumbu alam (utara - selatan).
- b. Dimensi:
Hal umum yang berlaku dalam membuat rancangan bangunan Bali adalah
dimensi atau ukuran ruang dan elemen bangunan. Patokan yang dipergunakan
dalam menentukan ukuran bangunan adalah konfigurasi bagian tangan dan
kaki dari pemilik, undagi atau pendeta yang disebut dengan "sikut" atau "gegulak".
- c. Upacara:
Pembangunan semua jenis bangunan Bali dibarengi dengan upacara menurut
aturan agama Hindu, mulai sejak menebang pohon, awal pelaksanaan hingga
saat peresmian penggunaan bangunan, lalu secara berkala tetap dilakukan
upacara saat bangunan tersebut dihuni dan hingga saat akhir jika
dibongkar dilakukan satu upacara "pralina" atau peleburan.
0 komentar:
Posting Komentar