ASTA KOSALA dan ASTA
BUMI.
Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah
aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol) pelinggih,
yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan)
dan hiasan.
Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan
tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan
jarak antar pelinggih.
Aturan tentang Asta Kosala dan Asta Bumi
ditulis oleh Pendeta: Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan.
Uraian mengenai Asta Kosala khusus untuk bangunan Padmasana
telah dikemukakan pada bab: Hiasan Padmasana, Bentuk-bentuk
Padmasana dan Letak Padmasana.
Asta Bumi menyangkut pembuatan Pura atau
Sanggah Pamerajan adalah sebagai berikut:
1 |
Tujuan Asta Bumi adalah |
a |
Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas
lindungan Hyang Widhi |
b |
Mendapat vibrasi kesucian |
c |
Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi |
|
2 |
Luas halaman |
a |
Memanjang dari Timur ke Barat ukuran yang baik
adalah: Panjang dalam ukuran "depa"
(bentangan tangan lurus dari kiri ke kanan dari
pimpinan/klian/Jro Mangku atau orang suci lainnya):
2,3,4,5,6,7,11,12,14,15,19. Lebar dalam ukuran
depa: 1,2,3,4,5,6,7,11,12,14,15. Alternatif total
luas dalam depa: 2x1,3x2, 4x3, 5x4, 6x5, 7x6,
11x7, 12x11, 14x12, 15x14, 19x15. |
b |
Memanjang dari Utara ke Selatan ukuran yang
baik adalah: Panjang dalam ukuran depa: 4,5,6,13,18.
Lebar dalam ukuran depa: 5,6,13. Alternatif total
luas dalam depa: 6x5, 13x6, 18x13 |
Jika halaman sangat luas, misalnya untuk membangun
Padmasana kepentingan orang banyak seperti Pura Jagatnatha,
dll. boleh menggunakan kelipatan dari alternatif yang
tertinggi. Kelipatan itu: 3 kali, 5 kali, 7 kali,
9 kali dan 11 kali.
Misalnya untuk halaman yang memanjang dari Timur
ke Barat, alternatif luas maksimum dalam kelipatan
adalah: 3x(19x15), 5x(19x15), 7x(19x15), 9x(19x15),
11x(19x15).
Untuk yang memanjang dari Utara ke Selatan, alternatif
luas maksimum dalam kelipatan adalah: 3x(18x13), 5x(18x13),
7x(18x13), 9x(18x13), 11x(18x13). |
HULU-TEBEN.
"Hulu" artinya arah yang utama,
sedangkan "teben" artinya hilir atau arah berlawanan
dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ada
dua patokan mengenai hulu yaitu
- Arah Timur, dan
- Arah "Kaja"
Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan
tepat dengan menggunakan kompas.
Arah kaja adalah letak gunung atau bukit.
Cara menentukan lokasi Pura adalah menetapkan
dengan tegas arah hulu, artinya jika memilih timur sebagai
hulu agar benar-benar timur yang tepat, jangan melenceng
ke timur laut atau tenggara. Jika memilih kaja sebagai hulu,
selain melihat gunung atau bukit juga perhatikan kompas.
Misalnya jika gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar
di arah utara sesuai kompas, jangan sampai melenceng ke
arah timur laut atau barat laut, demikian seterusnya. Pemilihan
arah hulu yang tepat sesuai dengan mata angin akan memudahkan
membangun pelinggih-pelinggih dan memudahkan pelaksanaan
upacara dan arah pemujaan.
BENTUK HALAMAN.
Bentuk halaman pura adalah persegi empat
sesuai dengan ukuran Asta Bumi sebagaimana diuraikan terdahulu.
Jangan membuat halaman pura tidak persegi empat misalnya
ukuran panjang atau lebar di sisi kanan - kiri berbeda,
sehingga membentuk halaman seperti trapesium, segi tiga,
lingkaran, dll. Hal ini berkaitan dengan tatanan pemujaan
dan pelaksanaan upacara, misalnya pengaturan meletakkan
umbul-umbul, penjor, dan Asta kosala.
PEMBAGIAN HALAMAN.
Untuk Pura yang besar menggunakan pembagian
halaman menjadi tiga yaitu:
- Utama Mandala
- Madya Mandala
- Nista Mandala.
Ketiga Mandala itu merupakan satu kesatuan,
artinya tidak terpisah-pisah, dan tetap berbentuk segi empat;
tidak boleh hanya utama mandala saja yang persegi empat,
tetapi madya mandala dan nista mandala berbentuk lain.
Utama mandala adalah bagian yang paling
sakral terletak paling hulu, menggunakan ukuran Asta Bumi;
Madya Mandala adalah bagian tengah, menggunakan
ukuran Asta Bumi yang sama dengan utama Mandala;
Nista Mandala adalah bagian teben, boleh
menggunakan ukuran yang tidak sama dengan utama dan nista
mandala hanya saja lebar halaman tetap harus sama.
Di Utama mandala dibangun pelinggih-pelinggih
utama, di madya mandala dibangun sarana-sarana penunjang
misalnya bale gong, perantenan (dapur suci), bale kulkul,
bale pesandekan (tempat menata banten), bale pesamuan (untuk
rapat-rapat), dll. Di nista mandala ada pelinggih
"Lebuh" yaitu stana Bhatara Baruna,
dan halaman ini dapat digunakan untuk keperluan lain misalnya
parkir, penjual makanan, dll.
Batas antara nista mandala dengan madya
mandala adalah "Candi Bentar" dan batas antara
madya mandala dengan utama mandala adalah "Gelung Kori",
sedangkan nista mandala tidak diberi pagar atau batas dan
langsung berhadapan dengan jalan.
MENETAPKAN PEMEDAL.
Pemedal adalah gerbang, baik berupa candi
bentar maupun gelung kori. Cara menetapkan pemedal sebagai
berikut: 1) Ukur lebar halaman dengan tali. 2) Panjang tali
itu dibagi tiga. 3) Sepertiga ukuran tali dari arah teben
adalah "as" pemedal. Dari as ini ditetapkan lebarnya
gerbang apakah setengah depa atau satu depa, tergantung
dari besar dan tingginya bangunan candi bentar dan gelung
kori. Yang dimaksud dengan teben dalam ukuran pemedal ini
adalah arah yang bertentangan dengan hulu dari garis halaman
pemedal. Misalnya hulu halaman Pura ada di Timur, maka teben
dalam menetapkan gerbang tadi adalah utara, kecuali di utara
ada gunung maka tebennya selatan, demikian seterusnya. Penetapan
gerbang candi bentar dan gelung kori ini penting untuk menentukan
letak pelinggih sesuai dengan asta kosala.
JARAK ANTAR PELINGGIH.
Jarak antar pelinggih yang satu dengan
yang lain dapat menggunakan ukuran satu "depa",
kelipatan satu depa, "telung tapak nyirang", atau
kelipatan telung tapak nyirang. Pengertian "depa"
sudah dikemukakan di depan, yaitu jarak bentangan tangan
lurus dari ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan.
Yang dimaksud dengan "telung tampak nyirang" adalah
jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri
(dua kanan dan satu kiri) ditambah satu tapak kaki kiri
dalam posisi melintang. Baik depa maupun tapak yang digunakan
adalah dari orang yang dituakan dalam kelompok "penyungsung"
(pemuja) Pura. Jarak antar pelinggih dapat juga menggunakan
kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari harmonisasi
letak pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar
pelinggih juga mencakup jarak dari tembok batas ke pelinggih-pelinggih.
Ketentuan-ketentuan jarak itu juga tidak selalu konsisten,
misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak, sedangkan
jarak ke "Piasan" dan Pemedal (gerbang) menggunakan
depa. Ketentuan ini juga berlaku bagi bangunan dan pelinggih
di Madya Mandala.
PELINGGIH (STANA) YANG DIBANGUN. Jika bangunan
inti hanya Padmasana, sebagaimana tradisi yang ada di luar
Pulau Bali, maka selain Padmasana dibangun juga pelinggih
TAKSU sebagai niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya
Brahma yang memberikan manusia kemampuan belajar/mengajar
sehingga memiliki pengetahuan, dan PANGRURAH sebagai niyasa
pemujaan Bhatara Kala yaitu "putra" Siwa yang
melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia.
Bangunan lain yang bersifat sebagai penunjang adalah: PIYASAN
yaitu bangunan tempat bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika
hari piodalan, di mana diletakkan juga sesajen (banten)
yang dihaturkan. BALE PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih memuja.
Di Madya Mandala dibangun BALE GONG, tempat gambelan, BALE
PESANDEKAN, tempat rapat atau menyiapkan diri dan menyiapkan
banten sebelum masuk ke Utama Mandala. BALE KULKUL yaitu
tempat kulkul (kentongan) yang dipukul sebagai isyarat kepada
pemuja bahwa upacara akan dimulai atau sudah selesai.
Jika ingin membangun Sanggah pamerajan
yang lengkap, bangunan niyasa yang ada dapat "turut"
3,5,7,9, dan 11. "Turut" artinya "berjumlah".
Turut 3: Padmasari, Kemulan Rong tiga (pelinggih Hyang Guru
atau Tiga Sakti: Brahma, Wisnu, Siwa), dan Taksu. Jenis
ini digunakan oleh tiap keluarga di rumahnya masing-masing.
Turut 5: Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah,
"Baturan Pengayengan" yaitu pelinggih untuk memuja
ista dewata yang lain. Turut 7: adalah turut 5 ditambah
dengan pelinggih Limas cari (Gunung Agung) dan Limas Catu
(Gunung Lebah). Yang dimaksud dengan Gunung Agung dan Gunung
Lebah (Batur) adalah symbolisme Hyang Widhi dalam manifestsi
yang menciptakan "Rua Bineda" atau dua hal yang
selalu berbeda misalnya: lelaki dan perempuan, siang dan
malam, dharma dan adharma, dll. Turut 9 adalah turut 7 ditambah
dengan pelinggih Sapta Petala dan Manjangan Saluwang. Pelinggih
Sapta Petala adalah pemujaan Hyang Widhi sebagai penguasa
inti bumi yang menyebabkan manusia dan mahluk lain dapat
hidup. Manjangan Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai
Maha Rsi yang paling berjasa mempertahankan Agama Hindu
di Bali. Turut 11 adalah turut 9 ditambah pelinggih Gedong
Kawitan dan Gedong Ibu. Gedong Kawitan adalah pemujaan leluhur
laki-laki yang pertama kali datang di Bali dan yang mengembangkan
keturunan. Gedong Ibu adalah pemujaan leluhur dari pihak
wanita (istri Kawitan).
Cara menempatkan pelinggih-pelinggih itu
sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, di mana yang diletakkan
di hulu adalah Padmasari/Padmasana, sedangkan yang diletakkan
di teben adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut
seperti diuraikan di atas. Bila halamannya terbatas sedangkan
pelinggihnya perlu banyak, maka letak bangunan dapat berbentuk
L yaitu berderet dari pojok hulu ke teben kiri dan keteben
kanan.
Sumber: Bhagawan Dwija
Bangunan diproses penjiwaannya sebagai suatu kelahiran ke
bumi dengan upakara sebagaimana layaknya suatu kelahiran dan
kehidupan. Upacara ngulihin karang adalah suatu upakara semacam
dikawinkan antara bangunan dengan pemilik-pemakainya.
Oleh N. Gelebet
Menyukuri kesejahteraan karunia Hyang Widhi, dibangunlah
pura sebagai tempat pemujaan dalam manifestasinya, spirit
geginan dan roh leluhur yang diharapkan menyatu dengan-Nya
untuk kerahayuan jagat. Pembangunan tempat pemujaan berkembang
dari seonggok batu untuk panjatan memuja yang di langit,
meru bayangan gunung, padma kemanunggalan dan kini penampilan
jamak semarak dengan kemanjaan teknologi.
Kesadaran mendasar dalam membangun pura memang seharusnya
melestarikan landasan konseptualnya. Peranan dinas, instansi
yang mengambil alih peran krama, dengan pengalihan hak atas
bukti pura dan kebijakan meniadakan prosesi pratima yang
ditinggal krama yang tidak lagi ngayah kini tanpa karang
ayahan, merupakan gejala kesadaran palsu yang terjadi dalam
beberapa kasus.
Proses Membangun Pura
Berawal dari nyanggra pengempon, pengemong dan penyiwi,
dilanjutkan dengan nyanyan dialog ritual dengan sesuhunan
yang distanakan di pura yang dibangun. Tujuannya, untuk
mendapatkan kesepakatan atas kesepahaman sekala-niskala
apa dan bagaimana membangun pura. Kemudian dengan penetapan
program dan penjadwalannya sesuai subadewasa dilakukan nyikut,
ngruak karang dan nyangga ngurip gegulak, ngadegang sanggar
wiswakarma. Keberadaan gegulak dipandang sebagai acuan hidup
modul pendimensian, setelah melalui ritus pengurip dan pengaci,
nantinya wajib di-pralina setelah bangunan selesai di-plaspas.
Dengan penjiwaan sejak awal, keseimbangan atma, angga lan
khaya wewangunan dapat terwujud.
Selanjutnya ngelakar sesuai keperluan dan ketentuan penggunaan
bahan untuk bangunan pura yang masing-masing peruntukannya
(parahyangan, pawongan, palemahan) ada ketentuan jenis kayunya.
Di mana dan bagaimana mendapatkannya, melalui permakluman
atau permohonan di ulun tegal yang mewilayahi. Pantangan
kayu tumbuh di sempadan sungai, setra, di batas, rebah tersangkut,
melintang jalan, tunggak wareng dan lainnya wajib ditaati
sebagai suatu keyakinan.
Pekerjaan komponen konstruksi dilakukan di jaba sisi pura
atau di suatu tempat yang wajar. Pelaku tukang wajib menaati
tata cara kramaning tukang sesuai ketentuan dan arahan undagi
manggalaning wewangunan. Dalam proses pengerjaan, setiap
tahap tertentu melalui ritus upakara yang dipimpin undagi,
tan keneng cuntaka, namun wajib menaati brata ke-undagi-an.
Dalam menjalankan profesinya, undagi atas nama (ngelinggihang)
Hyang Wiswakarma. Keberadaannya serentak menyandang kapican,
kawikon dan katakson, bagi undagi yang telah menjalani prosesnya
sesuai ketentuan tatwa, jnana dan upakara.
Bahan bangunan, tukang dan pekerja mengutamakan dari wilayah
sekitar. Peranan teknologi bukan hal yang ditabukan. Menghindari
pelaksanaan sistem tender yang sulit dipertanggungjawabkan
secara kualitas, legalitas ritual maupun proses penjiwaannya.
Dengan diabaikannya filsafat, konseptual dan tatwa acuan
tata cara membangun pura, sulit diharapkan unsur penjiwaannya
sehingga megah maraknya bangunan pura yang kini diwacanakan
sebagai kehampaan tanpa taksu karismatis.
Pemugaran Pura-pura kuno yang menggusur katakson-nya batu-batu
nunggul megalitikum, mengembangkan belasan pelinggih sepertinya
mengalami kemunduran monis yang dikembalikan ke polis. Memang
berpeluang untuk tampil megah meriah di kulit luar, namun
hampa tanpa magis power yang menjiwai.
Pembangunan pura tanpa pedoman Asta Kosali, tanpa acuan
gegulak modul dimensi, cenderung tampil sebagai bangunan
rekreasi berlanskap buatan berornamen mengada-ada.
Pekerjaan Konstruksi
Setelah nyanggra, nyanjan, nyikut dan nglakar, pekerjaan
konstruksi dilanjutkan dengan ngaug, ngakit dan ngasren
yang diakhiri dengan ngurip/melaspas dan ngenteg linggih
dengan rangkaiannya sesuai tingkatan, runut dan runtutannya
yang rumit. Peranan undagi dari tahap 1 s.d. 8 dalam satu
paket: atma, angga, khaya seutuhnya sesuai ketentuan khusus
Asta Kosali yang sulit dipahami profesi lain.
Kemudian ngenteg linggih berdasarkan tegak wali manut tengeran,
sasih atau wewaran (solar, lunar atau galaxy system). Pelaksanaannya
sesuai ketentuan dudonan upacara dengan upakara dan pamuput-nya
masing-masing. Peranan undagi dalam rangkaian yang melibatkan
seluruh lapisan masyarakat ini, sebatas pengamatan uji fungsi
apakah semua unit, bagian dan komponen sudah berfungsi sesuai
dengan hakikat akidah ruang ritual yang direncanakan.
Pekerjaan konstruksi ngaug sunduk saat posisi matahari
di mana bayangan garis atas lubang depan berimpit dengan
garis bawah lubang belakang adalah saat tepat yang ditetapkan.
Posisi ngaug betaka beti meru, pancung ngakit atap limasan
nasarin dan mendem pedagingan adalah ritus-ritus yang diyakini
sebagai penjiwaan yang mampu mengantisipai ancaman bencana
gempa, petir dan badai angin ngelinus puting beliung. Dengan
kemampuan tahan bencana menjadikan karisma taksu suatu bangunan
semakin diyakini keunggulan kebenarannya yang memang terbukti
dalam kajian arsitektural tradisional.
Ngasren wewangunan (pekerjaan finishing) tidak dibenarkan
dengan menghilangkan sifat-sifat fisis, chemis dan karakter
estetika bahan alami yang membawa keindahan alami kodrati.
Pewarnaan justru merusak di saat usangnya yang semakin parah
manakala perawatan diabaikan.
Ngurip Wewangunan
Prosesnya sejak awal, ngruak karang alih fungsi dari karang
tegal menjadi karang wawangunan atau mandala pura. Ukuran
pekarangan dengan pengurip asta musti, ukuran halaman dengan
pengurip tampak ngandang, ukurang bangunan dengan pengurip
nyari, guli, guli madu, useran jari, dan bagian-bagian dari
modul dimensi tiang. Tata letak dengan urip pengider, urip
perwujudan, pengurip perwujudan, pengurip gegulak, urip
dina wawaran dan urip pengurip-urip pemakuh. Makna pengurip
wewangunan saat melaspas adalah menghidupkan dengan penjiwaan
sebagai bangunan sesuai namanya.
Bahan-bahan bangunan telah dimatikan saat pengadaannya
menjadi bahan bangunan. Saat upacara melaspas, jiwanya dikembalikan
ke asalnya masing-masing. Dilakukan upacara peleburan dan
dihidupkan (ngurip) dengan fungsi baru yang namanya bangunan.
Bangunan inilah yang kemudian diproses penjiwaannya sebagai
suatu kelahiran ke bumi dengan upakara sebagaimana layaknya
suatu kelahiran dan kehidupan. Upacara ngulihin karang adalah
suatu upakara semacam dikawinkan antara bangunan dengan
pemilik-pemakainya.
Klasik, etnik dan unik memang, namun itulah pengurip penjiwaan
sepanjang proses membangun. Bagi pandangan sekuler tentunya
sebagai sesuatu yang berlebihan, mitos dan dogma yang dipandang
sebagai pemborosan sia-sia.
Benarkah dengan diabaikannya ritus pengurip menyebabkan
terjadinya pembangunan tanpa taksu yang semarak dalam fisik
namun hampa dalam kejiwaannya? Bagaimana mungkin penjiwaan
terjadi dalam pembangunan tanpa peran undagi, tanpa gegulak,
yang dibangun dengan sistem tender.
Raibnya bukti pura, ditinggalkannya ayahan pratima dan
menipisnya peranan krama, dapat memicu terjadinya kesadaran
palsu membangun pura sistem proyek yang ditenderkan.
Sumber: Terimakasih kepada Bali Post