Sebuah patung kayu berbentuk seekor gajah terlihat kokoh menyangga atap bangunan itu. Bukan sembarang gajah. Karena selain memiliki belalai yang panjang, gajah ini juga memiliki sayap layaknya burung dan mahkota api serupa mahkota naga. Gajah ini memiliki gading berupa taring yang cacat sebelah jika kita perhatikan. Walaupun penuh debu, tak pelak pemandangan itu membuat perasaan saya menjadi sangat tersentuh. Pemandangan yang membangkitkan ingatan akan masa kanak-kanak yang penuh kebahagiaan dan penuh hasrat keingintahuan. Sebuah patung kayu yang menjadi salah satu milestone alias penanda kilometer penting dalam perjalanan kehidupan saya.
Patung gajah itu merupakan salah satu karya seorang Sangging yang sangat tersohor pada jamannya yang bernama Pekak Oper. Sangging adalah gelar profesi bagi seniman ukir di Bali. Karena keahlian mengukir ini dikembangkan secara turun temurun dalam keluarga, maka “Sangging”pun juga menjadi nama klan atau marga para seniman ukir. Seniman-seniman ukir terbaik di Bali umumnya memang berasal dari klan Sangging.
Patung itu dibuat atas pesanan ayah saya ketika saya masih kanak-kanak. Sekitar tahun 1972 atau 1973. Saat itu saya masih duduk di bangku kelas satu atau kelas dua di Sekolah Dasar. Beliau juga yang mengukir hampir semua ukiran kayu yang menyangga bangunan maupun tempat suci di rumah kami. Pada jaman itu, kebanyakan para seniman seperti Pekak Oper mengerjakan orderan pelanggannya dari rumah ke rumah tanpa memiliki bengkel kerja ataupun galeri sendiri. Untuk menyelesaikan semua karya ukirannya, Pekak Oper tinggal di rumah kami selama berbulan-bulan. Makan, tidur dan bekerja selayaknya salah satu anggota keluarga di rumah. Sehingga kami pernah mengira bahwa Pekak Oper adalah salah seorang dari kakek kami sendiri. Karena selain bekerja secara professional, perhatian dan kasih sayangnya juga dicurahkan kepada kami semua. Motivasi, cara pandang terhadap kehidupan, kebebasan berekspressi dan semangat yang menjiwainyapun sangat terasa dalam setiap karya seninya. Walau Pekak Oper meninggalkan banyak jejak karyanya di rumah saya, namun bagi saya Patung Gajah bergading cacat sebelah itulah yang memberikan kenangan terbaik saya akan sang maestro.
Setahap demi setahap beliau mengetokkan palunya pada pangkal pahat. Menciptakan seulir demi seulir batang tanaman yang indah, sehelai demi sehelai daun yang gemulai, sekelopak bunga, benang sari, kuncup bunga, barong, patra ulanda, kuta mesir dan berbagai patra-patra (motif) ukir lainnya. Begitu tekun. Begitu tenggelam dalam alam pikirnya yang tak seorangpun bisa mengunjunginya sebelum sempat beliau terjemahkan ke dalam bentuk karya seni. Seolah-olah bukan tangannyalah yang sedang mencipta. Namun jiwanya. Saya benar-benar terpesona oleh kemampuan beliau. Dan saat itu saya bercita-cita menjadi seorang tukang ukir kelak jika saya dewasa.
Suatu hari sepulang sekolah saya mampir lagi ke garase. Ternyata Pekak Oper sedang tidak ada di tempat kerjanya. Rupanya beliau sedang dipanggil makan siang oleh Ibu saya. Saya melihat sebuah calon patung gajah yang belum selesai dikerjakan oleh beliau dalam beberapa hari terakhir ini. Karena senimannya sedang istirahat, maka patung yang belum selesai itupun tergeletak begitu saja di lantai garase bersama limbah kayu dan peralatan ukir yang sedang dipergunakan. Sayapun lebih mendekat agar bisa melihat lebih jelas lagi hasil karya sang Sangging.
Sungguh aneh. Belalai yang panjang, mata yang besar & melotot mirip wajah singa. Saya pikir ia memiliki taring, bukan gading. Bagaimana mungkin seekor gajah memiliki wajah sesangar seekor singa? Gajah apa ini? Lebih ajaib lagi, ternyata gajah itupun memiliki sayap seperti burung dan memiliki mahkota api seperti naga. Bentuk binatang itu sangat bagus dan ajaib. Namun walaupun indah, tapi terus terang saya merasa gajah itu sangat aneh.
Lalu saya sentuh wajah patung itu. Disebelahnya saya lihat sepasang pahat dan palu. Tiba-tiba keinginan saya untuk mencoba mengukir muncul. Sedikit ragu-ragu,namun akhirnya saya putuskan untuk mengambil pahat itu. Saya pikir meminjam pahat itu sebentar barangkali tidak apa-apa. Saya lalu mencoba memahat pada gading gajah Pekak Oper yang menurut saya itu adalah taring singa. Awalnya saya kira kayu itu cukup empuk. Karena saya lihat Pekak Oper sangat mudah memahatnya. Begitu mengalun mengikuti alur dan urat kayu. Wah! Keras!. Ternyata mengukir kayu itu sangat keras dan butuh tenaga banyak. Apalagi buat tenaga kanak-kanak. Saya mencoba memukul pahat itu lebih keras lagi agar pahat bisa bergerak. Tetap keras. Alih-alih bergerak mengikuti ide dalam kepala saya, sekarang pahat itu malah meleset di kayu. Semakin keras saya pukul dengan palu malah semakin bergeser arah pahatnya. Uppss! Saat itulah saya baru mengerti, bahwa mengukir itu tidak sama dengan menggambar. Jika kita salah menggambar, dengan mudah kita bisa menghapusnya dan mengulang kembali menggambar yang benar di kertas itu. Tapi jika kita salah mengukir kayu , kita tak pernah bisa menghapusnya dan memahatnya kembali dengan benar. Seperti nasi yang telah menjadi bubur!. Jadi, hati-hatilah jika mengukir sesuatu!.
Ternyata saya telah merusak gading gajah itu. Adduh! Bagaimana ini. Ayah saya pasti marah besar atas perbuatan saya itu. Hanya satu buah perbuatan. Tapi kesalahannya banyak sekali.
Pertama, ayah saya pasti marah karena saya telah merusak sebelah gading gajah itu sehingga membuatnya tidak simetris. Itu akan membuat kwalitas karya ukir itu menurun.
Kedua, saya telah mengotak-atik karya orang lain tanpa ijin. Itu namanya lancang dan ayah saya pasti akan sangat marah atas perbuatan tidak sopan itu.
Ketiga, saya belum melepas pakaian sekolah saya dan belum makan siang tapi telah langsung bermain. Pasti ayah saya akan menghukum saya atas tindakan tidak disiplin ini.
Keempat, saya akan ketahuan telah mempergunakan pahat. Bisa jadi ayah saya juga akan marah. Ayah saya sangat protektif terhadap anaknya dan tak pernah mengijinkan saya dan saudara saya yang belum mencapai umur tertentu bermain dengan benda tajam seperti pisau, gunting, pahat dan sebagainya.
Memikirkan itu, saya mulai panik sendiri dan ketakutan. Saya yakin, ayah saya sangat kecewa akan perbuatan saya. Saya rasa ayah saya juga merasa tidak enak hati pada Pekak Oper atas kenakalan saya. Merusak karya seninya tanpa sepengetahuannya. Saya sudah pasrah untuk menerima hukuman apapun yang diberikan. Karena tidak mampu memikirkan jalan yang terbaik lagi, akhirnya saya hanya duduk diam di garase sambil menunggu kedatangan Pekak Oper. Apesnya, sehabis makan siang ternyata Pekak Oper datang ke garase sekaligus bersama dengan ayah saya. Detik demi detik saya alami dengan penuh ketegangan. Seperti yang saya duga, ayah saya dan Pekak Oper sangat terkejut melihat saya sedang duduk di dekat patung gajah itu. Sejenak beliau tediam dengan pandangan menyelidik apa yang sedang saya lakukan dengan patung gajah itu, yang membuat saya merasa semakin tersiksa. Tidak tahan dengan situasinya, akhirnya saya memutuskan untuk mengaku “ Saya telah mengukir sebelah dari gading gajah ini” Kata saya terbata-bata tanpa berani memandang lagi kearah wajah ayah saya.
Walaupun saya tidak berhasil menjadi tukang ukir, namun bagi saya Pekak Oper tetap telah memberikan sesuatu yang sangat berharga dalam hidup saya. Menurutnya kreativitas jangan pernah dibendung. Apapun imajinasi yang ada di kepala kita selayaknya diekspresikan. Jangan pernah takut salah atau merasa buruk. Karena karya seni tidak pernah mengenal kata buruk. Kecuali jika dilakukan dengan niat buruk. Pada prinsipnya melakukan karya seni adalah proses menuangkan imajinasi dalam otak kita ke dalam bentuk yang bisa ditangkap orang lain. Hingga sekarang, saya masih terngiang ngiang akan kalimat beliau. Saya sangat berterimakasih atas kebebasan jiwa dan pemikiran yang dialirkan ke dalam diri saya.
Sumber dari : http://nimadesriandani.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar