Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1934, Sukra Umanis Merakih
Penanggal 1 Sasih Kedasa Çaka 1934
Nyepi adalah hari
pergantian tahun Saka yang dirayakan setiap kurang lebih satu tahun
sekali. Nyepi tepatnya jatuh pada sehari sesudah tileming kesanga pada
tanggal 1 sasih Kedasa. Pelaksanaan hari Nyepi lebih menitikberatkan pada “Catur Brata Penyepian”, yaitu:
Jadi, melihat titik berat pelaksanaan Hari Nyepi tersebut, apakah tepat jika Nyepi itu disebut sebagai “Hari Raya” yang berkonotasi pada kesemarakan dan atau hari untuk bersuka-ria?
Kemudian saya mencoba mencari tahu hal ini. Mulai dari berselancar di dunia maya dengan mengunjungi situs-situs terpercaya yang mungkin membahas tentang hal ini. Namun, saya tidak mendapatkan titik cerah. Bahkan kebanyakan dari media tersebut sudah dari awal mendefinisikan Nyepi sebagai hari raya dengan menyebutkan, “Hari Raya Nyepi adalah hari…..” yang menurut saya kurang pas.
Akhirnya secara tidak sengaja saya menemukan referensi terpercaya (menurut saya) dari sebuah buku berjudul “Lima Cara Beryajna” yang ditulis oleh I Gusti Ketut Widana. Di sana disebutkan bahwa seringkali suatu istilah telah lumrah digunakan meskipun sebenarnya tidak sesuai dengan arti dan hakikatnya. Secara harfiah istilah “Hari Raya Nyepi” memang mengandung makna yang kontradiktif. Disebut “Hari Raya” berarti Nyepi itu dirayakan dengan kemeriahan, suka cita bahkan dipestakan. Sementara hakikat Nyepi itu sendiri adalah melaksanakan dengan penuh Sradha dan Bhakti “Catur Brata Penyepian”.
Sehingga inti dari hari Nyepi adalah pengendalian diri. Dengan menilik arti dan hakikatnya, maka istilah “hari raya” untuk Nyepi kurang tepat. Sedangkan untuk hari/rerainan lain seperti Galungan, Kuningan, Saraswati, dan Pagerwesi, masih bisa disebut sebagai “hari raya”, meski aspek pengendalian diri selalu tetap ada.
Terkait dengan kesalahkaprahan ini, Beliau juga menyinggung ucapan-ucapan selamat untuk Hari Nyepi yang juga “kadung pelih”. Misalnya yang sudah biasa adalah:
“Selamat Hari Raya Nyepi”.
- Amati Geni = tidak menyalakan api termasuk api hawa nafsu.
- Amati Karya = tidak melakukan aktifitas kerja rutin.
- Amati Lelunganan = tidak bepergian.
- Amati Lelanguan = tidak bersenang-senang atau menghentikan kegiatan hiburan.
Jadi, melihat titik berat pelaksanaan Hari Nyepi tersebut, apakah tepat jika Nyepi itu disebut sebagai “Hari Raya” yang berkonotasi pada kesemarakan dan atau hari untuk bersuka-ria?
Kemudian saya mencoba mencari tahu hal ini. Mulai dari berselancar di dunia maya dengan mengunjungi situs-situs terpercaya yang mungkin membahas tentang hal ini. Namun, saya tidak mendapatkan titik cerah. Bahkan kebanyakan dari media tersebut sudah dari awal mendefinisikan Nyepi sebagai hari raya dengan menyebutkan, “Hari Raya Nyepi adalah hari…..” yang menurut saya kurang pas.
Akhirnya secara tidak sengaja saya menemukan referensi terpercaya (menurut saya) dari sebuah buku berjudul “Lima Cara Beryajna” yang ditulis oleh I Gusti Ketut Widana. Di sana disebutkan bahwa seringkali suatu istilah telah lumrah digunakan meskipun sebenarnya tidak sesuai dengan arti dan hakikatnya. Secara harfiah istilah “Hari Raya Nyepi” memang mengandung makna yang kontradiktif. Disebut “Hari Raya” berarti Nyepi itu dirayakan dengan kemeriahan, suka cita bahkan dipestakan. Sementara hakikat Nyepi itu sendiri adalah melaksanakan dengan penuh Sradha dan Bhakti “Catur Brata Penyepian”.
Sehingga inti dari hari Nyepi adalah pengendalian diri. Dengan menilik arti dan hakikatnya, maka istilah “hari raya” untuk Nyepi kurang tepat. Sedangkan untuk hari/rerainan lain seperti Galungan, Kuningan, Saraswati, dan Pagerwesi, masih bisa disebut sebagai “hari raya”, meski aspek pengendalian diri selalu tetap ada.
Terkait dengan kesalahkaprahan ini, Beliau juga menyinggung ucapan-ucapan selamat untuk Hari Nyepi yang juga “kadung pelih”. Misalnya yang sudah biasa adalah:
“Selamat Hari Raya Nyepi”.
Karena konteks “hari raya” tidak tepat dengan hakikat Nyepi, maka ucapan yang sebaiknya digunakan adalah:
“Selamat Menjalankan Brata Nyepi dan Tahun Baru Saka”
Atau:
“Selamat menunaikan Brata Penyepian dan Tahun Baru Saka”.
Meski agak panjang, tetapi karena kita diharapkan berupaya membangun
sebuah kebenaran, bukan sebuah kesalahkaprahan maka hal ini patut
dilaksanakan. Ucapan yang panjang ini, menurut I Gusti Ketut Widana,
juga dimaksudkan untuk mengingatkan umat bahwa ada dua aspek yang hendak dicapai melalui Nyepi yaitu:- Aspek internal, yaitu kewajiban umat untuk menjalankan Catur Brata Penyepian dengan sungguh-sungguh dan tulus. Tidak seperti selama ini yang secara jujur harus diakui cukup banyak umat Hindu yang melaksanakan hakikat Nyepi yang “sepi” itu dengan kegiatan “ramai-ramai”, termasuk “maceki” dan “metajen”.
- Aspek eksternal, yaitu berupa kewajiban umat untuk mengokohkan sendi-sendi “pasemetonan” atau kekeluargaan melalui pelaksanaan tradisi “masima krama”.
0 komentar:
Posting Komentar